Syiahindonesia.com - Syiah dan Hadis (1)
Pandangan Ahlussunnah
Hadis adalah fondasi Syariat Islam kedua setelah al-Qur’an. Kekuatan hujjahnya tidaklah terbantahkan. Hadis juga berperan sebagai penjelas dan penafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Maka, sebagaimana kewajiban mengikuti dan mengamalkan ajaran al-Qur’an, umat Islam juga berkewajiban mengikuti serta menjalankan ajaran-ajaran al-Hadis. Perintah ini telah termaktub di dalam beberapa ayat al-Qur’an sebagai berikut:
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا (المائدة ]5[: 92)
“Dan takutlah kamu kepada Rasul dan berhati-hatilah.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 92)
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ (النساء ]4[: 80)
“Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (QS. An-Nisa [4]: 80)
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (الحشر ]59[: 7)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ (الأحزاب ]33[: 21)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21)
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ (آل عمران ]3[: 31)
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mecintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’.” (QS. Ali-Imran: 31)
Dalam hadisnya, Rasulullah saw. juga menjelaskan:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
“Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka, yang jika kalian berpegang-teguh pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” HR. Malik[1]
Hal demikian tak lain karena hadis sejatinya juga merupakan wahyu yang diturunkan Allah Swt.. kepada Nabi Muhammad saw. Mengenai hal ini, Allah Swt. menjelaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4) عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى (5).
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” (QS. An-Najm [53]: 3-5)
Selanjutnya, sahabat memegang peranan kunci dalam periwayatan hadis. Para sahabat yang menimba langsung hadis-hadis dari sumbernya (Nabi Muhammad saw.), melakukan transmisi hadis-hadis tersebut kepada generasi selanjutnya, dan hal ini terus berlangsung hingga Hadis-Hadis Rasulullah saw. sampai pada kita. Jadi, para sahabat saw. merupakan tonggak dari ajaran Islam, sebab pada merekalah ajaran-ajaran Islam tertuangkan; pada merekalah Nabi Muhammad saw.. membacakan al-Qur’an, menjelaskan maksud dan mempraktikan isinya. Pada mereka pula Nabi Muhammad saw. menyampaikan hadis-hadis beliau.
Nah, lantaran berstatus sebagai pembawa ajaran Islam yang diterima dari Nabi Muhammad saw.. itulah, para sahabat menempati posisi yang sangat tinggi dalam Islam; posisi yang tidak dapat dicapai oleh siapapun dari generasi umat Nabi yang muncul kemudian. Dan, melalui dalil nash-nash al-Qur’an dan Hadis, rasio serta realita,[2] para ulama sepakat (ijma’)[3] menilai bahwa semua sahabat memenuhi syarat ‘adâlah (integritas), termasuk yang terlibat dalam konflik internal umat Islam (lâbisa al-fitan). Ibnu Shalah menulis:
ثُمَّ إِنَّ الْأُمَّةَ مُجْمِعَةٌ عَلَى تَعْدِيلِ الصَّحَابَةِ، وَمَنْ لَابَسَ الْفِتَنَ مِنْهُمْ، فَكَذَلِكَ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ الَّذِينَ يُعْتَدُّ بِهِمْ فِي الْإِجْمَاعِ، وَكَأَنَّ اللهَ أَتَاحَ الْإِجْمَاعَ عَلَى ذَلِكَ لِكَوْنِهِمْ نَقَلَةَ الشَّرِيعَةِ.
“Kemudian umat bersepakat dalam menilai adil terhadap semua sahabat, mereka yang terlibat dalam konflik internal umat Islam. Demikianlah konsensus para ulama yang pendapatnya dapat dianggap dalam menetapkan ijma’. Seakan Allah Swt.. memang menganugerahkan ijma’ terhadap status keadilan karena mereka adalah para pembawa syari’at Islam.” [4]
Para ulama menjelaskan, bahwa syarat ‘adâlah (integritas) sahabat bukan berarti mereka berstatus ma’sûm atau terjaga dari kema’siatan dan dosa. Akan tetapi yang dikehendaki adalah diterimanya riwayat-riwayat mereka tanpa memaksakan penyelidikan terhadap faktor-faktor dan indikasi-indikasi keasilan pada diri mereka, sebab mereka sudah dipastikan keadilannya.[5]
Pandangan Syiah
Pandangan Syiah terhadap hadis Nabi Muhammad saw. tidak sebagaimana pandangan Ahlussunnah di atas. Dalam hal ini, ada perbedaan yang sangat prinsip antara Syiah dan Ahlussunnah, baik mengenai epistomologi, jalur periwayatan, penerimaan maupun penggunaannya.
Definisi Sunnah versi Syiah adalah “setiap sesuatu yang muncul dari orang yang ma’shum, baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.”[6] Sementara orang yang ma’shum itu adalah Rasulullah saw. dan Imam Duabelas. Maka dalam Syiah tidak ada bedanya antara Imam Dua Belas dengan orang yang disebut dalam al-Qur’an sebagai man lâ yanthiqu ‘an al-hawâ in huwa illâ wahyun yûhâ (Rasulullah saw.). Demikian pula tidak dibedakan antara yang masih bocah dengan yang sudah berpikiran matang dari Imam Duabelas, sebab dalam pandangan Syiah, mereka (Imam Dua Belas) terjaga dari salah dan lupa sepanjang hidupnya.
Karenanya, Syiah berkeyakinan bahwa Hadis-Hadis yang bersumber dari para Imam adalah shahih tanpa perlu kesinambungan riwayat (ittishâl) dengan Rasulullah saw.. sebagaimana persyaratan kesahihan Hadis dalam Ahlussunnah.[7] Dan bahwa status para Imam layaknya para Rasul, perkataan mereka sama dengan firman Allah dan perintah mereka sama dengan perintah Allah Swt.., begitu pula menyalahi mereka sama halnya dengan menyalahi perintah Allah Swt.., sebab mereka tidak berkata-kata melainkan ada koneksi langsung dengan Allah Swt.. melalui wahyu.[8]
Pandangan di atas sudah menjadi cara pandang kalangan Syiah secara umum, baik yang ekstrem maupun yang lunak, yang modern lebih-lebih yang klasik. Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’, salah seorang tokoh Syiah kontemporer yang menjadi rujukan kaum Syiah masa kini, menyatakan sebagai berikut:
إنَّ الشِّيْعَةَ لَا يَعْتَبِرُوْنَ مِنَ السُّنَّةِ (أعْنِي الأحَادِيْثَ النَّبَوِيَّةَ) إلَّا مَا صَحَّ لَهُمْ مِنْ طُرُقِ أَهْلِ الْبَيْتِ… أمَّا مَا يَرْوِيْهِ مِثْلُ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، وَسَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، وَعَمْرو بْنِ الْعَاصِ وَنَظَائِرِهِمْ فَلَيْسَ لَهُمْ عِنْدَ الْإِمَامِيَّةِ مِقْدَارُ بَعُوْضَةٍ.
“Syiah tidak menerima hadis-hadis Nabi saw. kecuali yang dianggap sah dari jalur Ahlu Bait. Sementara hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para perawi semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Amr bin Ash, dan sesamanya, maka dalam pandangan Syiah Imamiyah, mereka tidak memiliki nilai walau senilai nyamuk sekalipun.[9]
Senada dengan Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’, Dr. Quraish Shihab juga menulis sebagai berikut:
“Disebabkan oleh pandangan Syiah seperti yang penulis kemukakan di atas, maka ulama-ulama Syiah sangat selektif dalam menerima hadis-hadis, bahkan boleh jadi tidak keliru jika dikatakan bahwa mereka tidak menerima hadis-hadis kecuali jika diriwayatkan melalui Ja’far ash-Shadiq, dari ayahnya Muhammad al-Baqir, dari ayahnya Ali Zainal Abidin, dari ayahnya Sayyidina Husain (cucu Nabi saw..), dari ayahnya Amirul Mu’minin Ali ibnu Abi Thalib, dari Rasulullah saw… Adapun semacam Hadis-Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Samurah ibnu Jundub, Marwan ibnu Hakam, Amran ibnu Haththan, ‘Amr ibnu ‘Ash, maka di sisi Syiah mereka tidak memiliki sedikit nilai walau senilai lalat sekalipun”.[10]
Dari pernyataan di atas, kita dapat mencerna, bahwa dalam upaya meraih supremasi di bidang hadis, Syiah tidak menyatakan bahwa mereka hanya mau menerima Hadis-Hadis dari kalangan Ahlul Bait, akan tetapi mereka juga berupaya menoreh (jarh) para pemuka sahabat yang memiliki otoritas di bidang hadis, terutama Abu Hurairah Ra. Mengenai hal ini, seorang pemuka Syiah, Muhammad Tijani, berupaya menciptakan angka-angka matematis guna mendustakan Abu Hurairah Ra. secara rasional. Ia menulis antara lain sebagai berikut:
Pandangan Ahlussunnah
Hadis adalah fondasi Syariat Islam kedua setelah al-Qur’an. Kekuatan hujjahnya tidaklah terbantahkan. Hadis juga berperan sebagai penjelas dan penafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Maka, sebagaimana kewajiban mengikuti dan mengamalkan ajaran al-Qur’an, umat Islam juga berkewajiban mengikuti serta menjalankan ajaran-ajaran al-Hadis. Perintah ini telah termaktub di dalam beberapa ayat al-Qur’an sebagai berikut:
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا (المائدة ]5[: 92)
“Dan takutlah kamu kepada Rasul dan berhati-hatilah.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 92)
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ (النساء ]4[: 80)
“Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (QS. An-Nisa [4]: 80)
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (الحشر ]59[: 7)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ (الأحزاب ]33[: 21)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21)
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ (آل عمران ]3[: 31)
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mecintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’.” (QS. Ali-Imran: 31)
Dalam hadisnya, Rasulullah saw. juga menjelaskan:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
“Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka, yang jika kalian berpegang-teguh pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” HR. Malik[1]
Hal demikian tak lain karena hadis sejatinya juga merupakan wahyu yang diturunkan Allah Swt.. kepada Nabi Muhammad saw. Mengenai hal ini, Allah Swt. menjelaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4) عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى (5).
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” (QS. An-Najm [53]: 3-5)
Selanjutnya, sahabat memegang peranan kunci dalam periwayatan hadis. Para sahabat yang menimba langsung hadis-hadis dari sumbernya (Nabi Muhammad saw.), melakukan transmisi hadis-hadis tersebut kepada generasi selanjutnya, dan hal ini terus berlangsung hingga Hadis-Hadis Rasulullah saw. sampai pada kita. Jadi, para sahabat saw. merupakan tonggak dari ajaran Islam, sebab pada merekalah ajaran-ajaran Islam tertuangkan; pada merekalah Nabi Muhammad saw.. membacakan al-Qur’an, menjelaskan maksud dan mempraktikan isinya. Pada mereka pula Nabi Muhammad saw. menyampaikan hadis-hadis beliau.
Nah, lantaran berstatus sebagai pembawa ajaran Islam yang diterima dari Nabi Muhammad saw.. itulah, para sahabat menempati posisi yang sangat tinggi dalam Islam; posisi yang tidak dapat dicapai oleh siapapun dari generasi umat Nabi yang muncul kemudian. Dan, melalui dalil nash-nash al-Qur’an dan Hadis, rasio serta realita,[2] para ulama sepakat (ijma’)[3] menilai bahwa semua sahabat memenuhi syarat ‘adâlah (integritas), termasuk yang terlibat dalam konflik internal umat Islam (lâbisa al-fitan). Ibnu Shalah menulis:
ثُمَّ إِنَّ الْأُمَّةَ مُجْمِعَةٌ عَلَى تَعْدِيلِ الصَّحَابَةِ، وَمَنْ لَابَسَ الْفِتَنَ مِنْهُمْ، فَكَذَلِكَ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ الَّذِينَ يُعْتَدُّ بِهِمْ فِي الْإِجْمَاعِ، وَكَأَنَّ اللهَ أَتَاحَ الْإِجْمَاعَ عَلَى ذَلِكَ لِكَوْنِهِمْ نَقَلَةَ الشَّرِيعَةِ.
“Kemudian umat bersepakat dalam menilai adil terhadap semua sahabat, mereka yang terlibat dalam konflik internal umat Islam. Demikianlah konsensus para ulama yang pendapatnya dapat dianggap dalam menetapkan ijma’. Seakan Allah Swt.. memang menganugerahkan ijma’ terhadap status keadilan karena mereka adalah para pembawa syari’at Islam.” [4]
Para ulama menjelaskan, bahwa syarat ‘adâlah (integritas) sahabat bukan berarti mereka berstatus ma’sûm atau terjaga dari kema’siatan dan dosa. Akan tetapi yang dikehendaki adalah diterimanya riwayat-riwayat mereka tanpa memaksakan penyelidikan terhadap faktor-faktor dan indikasi-indikasi keasilan pada diri mereka, sebab mereka sudah dipastikan keadilannya.[5]
Pandangan Syiah
Pandangan Syiah terhadap hadis Nabi Muhammad saw. tidak sebagaimana pandangan Ahlussunnah di atas. Dalam hal ini, ada perbedaan yang sangat prinsip antara Syiah dan Ahlussunnah, baik mengenai epistomologi, jalur periwayatan, penerimaan maupun penggunaannya.
Definisi Sunnah versi Syiah adalah “setiap sesuatu yang muncul dari orang yang ma’shum, baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.”[6] Sementara orang yang ma’shum itu adalah Rasulullah saw. dan Imam Duabelas. Maka dalam Syiah tidak ada bedanya antara Imam Dua Belas dengan orang yang disebut dalam al-Qur’an sebagai man lâ yanthiqu ‘an al-hawâ in huwa illâ wahyun yûhâ (Rasulullah saw.). Demikian pula tidak dibedakan antara yang masih bocah dengan yang sudah berpikiran matang dari Imam Duabelas, sebab dalam pandangan Syiah, mereka (Imam Dua Belas) terjaga dari salah dan lupa sepanjang hidupnya.
Karenanya, Syiah berkeyakinan bahwa Hadis-Hadis yang bersumber dari para Imam adalah shahih tanpa perlu kesinambungan riwayat (ittishâl) dengan Rasulullah saw.. sebagaimana persyaratan kesahihan Hadis dalam Ahlussunnah.[7] Dan bahwa status para Imam layaknya para Rasul, perkataan mereka sama dengan firman Allah dan perintah mereka sama dengan perintah Allah Swt.., begitu pula menyalahi mereka sama halnya dengan menyalahi perintah Allah Swt.., sebab mereka tidak berkata-kata melainkan ada koneksi langsung dengan Allah Swt.. melalui wahyu.[8]
Pandangan di atas sudah menjadi cara pandang kalangan Syiah secara umum, baik yang ekstrem maupun yang lunak, yang modern lebih-lebih yang klasik. Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’, salah seorang tokoh Syiah kontemporer yang menjadi rujukan kaum Syiah masa kini, menyatakan sebagai berikut:
إنَّ الشِّيْعَةَ لَا يَعْتَبِرُوْنَ مِنَ السُّنَّةِ (أعْنِي الأحَادِيْثَ النَّبَوِيَّةَ) إلَّا مَا صَحَّ لَهُمْ مِنْ طُرُقِ أَهْلِ الْبَيْتِ… أمَّا مَا يَرْوِيْهِ مِثْلُ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، وَسَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، وَعَمْرو بْنِ الْعَاصِ وَنَظَائِرِهِمْ فَلَيْسَ لَهُمْ عِنْدَ الْإِمَامِيَّةِ مِقْدَارُ بَعُوْضَةٍ.
“Syiah tidak menerima hadis-hadis Nabi saw. kecuali yang dianggap sah dari jalur Ahlu Bait. Sementara hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para perawi semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Amr bin Ash, dan sesamanya, maka dalam pandangan Syiah Imamiyah, mereka tidak memiliki nilai walau senilai nyamuk sekalipun.[9]
Senada dengan Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’, Dr. Quraish Shihab juga menulis sebagai berikut:
“Disebabkan oleh pandangan Syiah seperti yang penulis kemukakan di atas, maka ulama-ulama Syiah sangat selektif dalam menerima hadis-hadis, bahkan boleh jadi tidak keliru jika dikatakan bahwa mereka tidak menerima hadis-hadis kecuali jika diriwayatkan melalui Ja’far ash-Shadiq, dari ayahnya Muhammad al-Baqir, dari ayahnya Ali Zainal Abidin, dari ayahnya Sayyidina Husain (cucu Nabi saw..), dari ayahnya Amirul Mu’minin Ali ibnu Abi Thalib, dari Rasulullah saw… Adapun semacam Hadis-Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Samurah ibnu Jundub, Marwan ibnu Hakam, Amran ibnu Haththan, ‘Amr ibnu ‘Ash, maka di sisi Syiah mereka tidak memiliki sedikit nilai walau senilai lalat sekalipun”.[10]
Dari pernyataan di atas, kita dapat mencerna, bahwa dalam upaya meraih supremasi di bidang hadis, Syiah tidak menyatakan bahwa mereka hanya mau menerima Hadis-Hadis dari kalangan Ahlul Bait, akan tetapi mereka juga berupaya menoreh (jarh) para pemuka sahabat yang memiliki otoritas di bidang hadis, terutama Abu Hurairah Ra. Mengenai hal ini, seorang pemuka Syiah, Muhammad Tijani, berupaya menciptakan angka-angka matematis guna mendustakan Abu Hurairah Ra. secara rasional. Ia menulis antara lain sebagai berikut:
وَجَمَعَ بَعْضُ الْمُحَقِّقِيْنَ مَجْمُوعَ مَرْوِيَّاتِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ وَالْعَشْرَةِ الْمُبَشَّرِيْنَ وَاُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَأَهْلِ الْبَيْتِ الطَّاهِرِيْنَ فَلَمْ تَبْلُغْ كُلُّهَا عُشُرَ مِعْشَارِ مَارَوَاهُ أبُوْا هُرَيْرَةَ.
“Sebagian ulama muhaqqiqin telah mengumpulkan Hadis-Hadis riwayat Khulafâ’ ar-Râsyidîn, al-‘Asyrah al-Mubasyarûn bi al-Jannah, Ummahât al-Mu’minin dan Ahlul Bait ra., ternyata jumlah kumpulan Hadis tersebut tidak sampai seper sepuluh dari seper sepuluhnya Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra.”[11]
Pernyataan semacam at-Tijani di atas diamini dan diteladani oleh mufassir Indonesia kenamaan, Dr. Quraish Shihab. Dalam bukunya, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, beliau menulis sebagai berikut:
“Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan suatu keharusan. Di samping itu semua, harus diakui juga bahwa tingkat kecerdasan dan kemampuan ilmiah, demikian juga pengenalan Abu Hurairah ra. menyanngkut Nabi saw.. atau istri Nabi saw.. Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ.”[12]
Upaya memperoleh supremasi di bidang hadis ini, tentu juga tidak lepas dari doktrin mereka yang paling pokok, yakni imâmah. Doktrin imâmah dalam Syiah berarti menjadikan Imam-imam sebagai poros: Hadis-hadis selain dari para Imam tidak dianggap lebih kuat dari hadis-hadis para Imam, dan karenanya layak ditolak, sebab para Imam adalah pemimpin tertinggi, sebab para Imam berstatus ma’hûm, dan siapa saja yang mencoba untuk menyaingi mereka berarti kafir.[13]
Di antara teori antagonistis Syiah dalam berhujjah, adalah apa yang kebanyakan dilakukan oleh Syiah kontemporer. Dalam menjawab kejanggalan-kejanggalan dari Ahlussunnah terkait dengan isi hadis, periwayatan serta status perawinya, mereka (Syiah) malah menuding balik dan menyatakan bahwa Ahlussunnah yang berlaku sepihak dan diskriminatif. Mengenai hal ini, Organization of Ahlulbayt for Social Support and Education (OASE) berkomentar sebagai berikut:
“Bacalah Tafsir Mizan dari ath-Thabathabai sebagai contoh, dan Anda akan menemukan hadis-hadis Sunni yang banyak. Tetapi ambillah kitab tafsir yang ditulis oleh ulama Sunni mana pun, dan Anda tidak akan menemukan satu pun hadis Syiah dimuat di dalamnya. Jadi siapakah yang diskriminatif sebenarnya.”[14]
Tak ketinggalan, Dr. Quraish Shihab juga memunculkan statemen senada. Dengan mengutip penulis Syiah kontemporer, Murtadha al-‘Asykari dalam Ma’âlim al-Madrasatain (jilid 1 hlm. 39), Dr. Quraish Shihab menulis sebagai berikut:
“Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar Hadis Ahlussunnah tidak meriwayatkan dari imam-imam mereka. Imam Bukhari, misalnya, tidak meriwayatkan satu Hadis pun dari Ja’far ash-Shadiq, Imam ke-6 Syiah Imamiyah, padahal Hadis-Hadisnya cukup banyak diriwayatkan oleh kelompok Syiah.”[15]
Kesimpulannya, upaya Syiah untuk mendapatkan kedudukan tak tertandingi di ranah hadis sudah maksimal dan memuncak; mulai dari argumen Ahlul Bait, ‘ishmat al-Imâm (kemaksuman para Imam), menoreh para pemuka sahabat sampai pada pendiskreditan posisi Ahlussunnah di bidang Hadis. Namun, adakah semua itu cukup kuat untuk menyampaikan sekte Syiah pada apa yang mereka harapkan?
Tanggapan
Data-data mengenai pandangan Syiah terhadap hadis yang telah kami cantumkan di atas, tentu sangat kontras dengan pandangan Ahlussunnah. Ada beberapa poin yang penting untuk dikritisi, antara lain adalah pernyataan mereka bahwa Syiah tidak menerima hadis-hadis Nabi saw. kecuali yang dianggap shahih dari jalur Ahlul Bait. Komentar yang antara lain diungkapkan oleh Kasyif al-Ghitha’ ini, sebenarnya tak lebih dari sekedar pengkaburan dari kalangan Syiah.
Memang, pernyataan-pernyataan Syiah seringkali menjebak, dengan menggunakan premis-premis logika yang ketika dinalar, nantinya akan mengantarkan pada kesimpulan (natîjah) bahwa pernyataan mereka memang benar. Dalam hal ini, pernyataan Syiah yang “tidak menerima Hadis kecuali yang datang dari Ahlul Bait”, akan memunculkan kesan di kalangan awam, bahwa hadis-hadis mereka memang bersumber dari Nabi Muhammad saw. Sebab logikanya, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq sudah pasti nyambung (ittishâl) pada Nabi saw., dengan penalaran persis seperti yang dibuat oleh Dr. Quraish Shihab di atas: “Imam Ja’far ash-Shadiq dari ayahnya Muhammad al-Baqir, dari ayahnya Ali Zainal Abidin, dari ayahnya Sayyidina Husain, dari ayahnya Amirul Mu’minin Ali ibnu Abi Thalib, dari Rasulullah saw.”
Selanjutnya, logika di atas diback-up dengan doktrin Syiah yang menyatakan bahwa semua Imam adalah ma’shum, terpelihara dari dosa apa pun. Sehingga, hadis yang diriwayatkan dari Imam Duabelas pasti shahih tanpa harus ittishâl dengan Rasulullah saw. Sementara hadis-hadis dari perawi yang lain, tentu sangat patut untuk disangsikan, dan mudah untuk ditolak.
Dengan logika semacam itulah, Syiah kemudian menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh selain Ahlul Bait. Padahal, sebagaimana telah kami tekankan sebelumnya, bahwa hal tersebut tak lebih dari sekedar pengkaburan semata. Sebab nyatanya tidak semua riwayat Ahlul Bait yang mereka terima. Riwayat yang datang dari keturunan Sayyidah Fathimah radhiyallâhu ‘anhâ dari jalur Sayyidina Hasan Ra. mereka tolak dengan alasan bahwa keturunan Sayyidina Hasan Ra. bukan Imam.[16] Lebih mempertegas sikap Syiah dalam penerimaan riwayat secara sepihak dan sarat kepentingan ini, ath-Thusi dalam al-Istibshâr menolak mentah-mentah hadis dari Zaid bin Ali ra.[17]
Statemen Syiah bahwa mereka tidak meriwayatkan hadis shahîh kecuali melalui jalur Ahlul Bait, sebenarnya akan menjadi senjata makan tuan, ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa tidak semua hadis Nabi diterima oleh Sayyidina Ali Ra. Mungkinkah Sayyidina Ali Ra. dapat meriwayatkan semua hadis Nabi saw. kepada anak cucunya hanya seorang diri, padahal Sayyidina Ali Ra. tidak selamanya kumpul dengan Rasulullah saw.? Juga bagaimana mungkin Sayyidina Ali dapat meriwayatkan secara langsung ihwal Nabi saw. yang hanya mungkin diketahui oleh para istri beliau?
Selain itu, telah jelas pula bahwa penyebaran ilmu-ilmu agama ke berbagai wilayah dunia tidak sepenuhnya melalui jalur Ahlul Bait. Di Madinah, yang pertama kali mengajak penduduknya memeluk agama Islam dan mengajari sahabat-sahabat Anshar tentang al-Qur’an adalah As’ad bin Zurarah atas perintah dari Nabi Muhammad saw. Di Bahrain, yang membawa panji Islam adalah ‘Alla’ bin al-Hardhamy, sedangkan di Yaman adalah Abu Musa al-Asy’ary dan Mu’adz bin Jabal.[18]
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] Lihat, al-Muwatha, Juz 2, hlm. 899, No. Hadis 1594
[2] Mengenai dalil-dalil akan keadilan sahabat akan kami kemukakan lebih rinci dalam pembahasan Syiah, Sahabat dan Ahlussunnah pada beberapa edisi selanjutnya.
[3] Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki menyatakan, bahwa di antara ulama yang menyatakan ijma’ tersebut adalah Ibn Abd al-Barr, Imam Nawawi dan Imam al-Haramain. Lihat, Manhal al-Lathîf fî Ushûl al-Hadîts asy-Syarîf, hlm. 177.
[4] Lihat, Ibn Shalah, Muqaddimah Ibn Shalâh, hlm. 147.
[5] Lihat, Manhal al-Lathîf fî Ushûl al-Hadîts asy-Syarîf, hlm. 177.
[6] Lihat, Muhammad Taqi al-Hakim, al-Ushûl al-‘Ammah li al-Fiqh al-Muqârin, hlm. 122.
[7] Lihat, Abdullah Fayyadh, Târikh al-Imâmiyah, hlm. 140.
[8] Lihat, I’tiqâdât Ibn Bâbawaih, hlm. 106. Lihat juga dalam Ushûl al-Madzhab ar-Râfidhi, karya Dr. Nashir bin Abdullah bin Ali al-Qifari, juz 1 hlm. 363; Dr. Shalih ar-Raqb, Al-Wâsyi’ah fî Kasyf Syanâi’ ‘Aqâ’îd asy-Syi’ah, hlm. 73, cet. 1 (1424 H/2003 M).
[9] Lihat, Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’, Ashl asy-Syî’ah wa Ushûliha, hlm. 79.
[10] Lihat, Dr. Quraish Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, hlm. 154-155.
[11] Dikutip oleh al-Qifari dalam Ushûl al-Madzhab ar-Râfidhi, juz 1, hlm. 363.
[12] Lihat, Dr. Quraish Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, hlm. 160.
[13] Lihat, Al-Kâfi, juz 1, hlm. 372, Hadis No. 2, Dar al-Kutub al-Islamiyah.
[14] Lihat, Emila Renita AZ, Mengapa Kita Memilih Syiah? Tanggapan untuk Majalah Sabili Edisi No. 5 th. XVIII, 22 September 2005, hlm. 16.
[15] Lihat, Dr. Quraish Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, hlm. 150.
[16] Lihat, Al-Qifari dalam Ushûl al-Madzhab ar-Râfidhî, juz 1, hlm. 363.
[17] Lihat, Al-Istibshâr, juz 1 hlm. 66.
[18] Lihat, Al-Qifari dalam Ushûl al-Madzhab ar-Râfidhî, juz 1 hlm. 365; Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah juz 5 hlm.34.
(sigabah.com/syiahindonesia.com)
“Sebagian ulama muhaqqiqin telah mengumpulkan Hadis-Hadis riwayat Khulafâ’ ar-Râsyidîn, al-‘Asyrah al-Mubasyarûn bi al-Jannah, Ummahât al-Mu’minin dan Ahlul Bait ra., ternyata jumlah kumpulan Hadis tersebut tidak sampai seper sepuluh dari seper sepuluhnya Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra.”[11]
Pernyataan semacam at-Tijani di atas diamini dan diteladani oleh mufassir Indonesia kenamaan, Dr. Quraish Shihab. Dalam bukunya, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, beliau menulis sebagai berikut:
“Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan suatu keharusan. Di samping itu semua, harus diakui juga bahwa tingkat kecerdasan dan kemampuan ilmiah, demikian juga pengenalan Abu Hurairah ra. menyanngkut Nabi saw.. atau istri Nabi saw.. Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ.”[12]
Upaya memperoleh supremasi di bidang hadis ini, tentu juga tidak lepas dari doktrin mereka yang paling pokok, yakni imâmah. Doktrin imâmah dalam Syiah berarti menjadikan Imam-imam sebagai poros: Hadis-hadis selain dari para Imam tidak dianggap lebih kuat dari hadis-hadis para Imam, dan karenanya layak ditolak, sebab para Imam adalah pemimpin tertinggi, sebab para Imam berstatus ma’hûm, dan siapa saja yang mencoba untuk menyaingi mereka berarti kafir.[13]
Di antara teori antagonistis Syiah dalam berhujjah, adalah apa yang kebanyakan dilakukan oleh Syiah kontemporer. Dalam menjawab kejanggalan-kejanggalan dari Ahlussunnah terkait dengan isi hadis, periwayatan serta status perawinya, mereka (Syiah) malah menuding balik dan menyatakan bahwa Ahlussunnah yang berlaku sepihak dan diskriminatif. Mengenai hal ini, Organization of Ahlulbayt for Social Support and Education (OASE) berkomentar sebagai berikut:
“Bacalah Tafsir Mizan dari ath-Thabathabai sebagai contoh, dan Anda akan menemukan hadis-hadis Sunni yang banyak. Tetapi ambillah kitab tafsir yang ditulis oleh ulama Sunni mana pun, dan Anda tidak akan menemukan satu pun hadis Syiah dimuat di dalamnya. Jadi siapakah yang diskriminatif sebenarnya.”[14]
Tak ketinggalan, Dr. Quraish Shihab juga memunculkan statemen senada. Dengan mengutip penulis Syiah kontemporer, Murtadha al-‘Asykari dalam Ma’âlim al-Madrasatain (jilid 1 hlm. 39), Dr. Quraish Shihab menulis sebagai berikut:
“Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar Hadis Ahlussunnah tidak meriwayatkan dari imam-imam mereka. Imam Bukhari, misalnya, tidak meriwayatkan satu Hadis pun dari Ja’far ash-Shadiq, Imam ke-6 Syiah Imamiyah, padahal Hadis-Hadisnya cukup banyak diriwayatkan oleh kelompok Syiah.”[15]
Kesimpulannya, upaya Syiah untuk mendapatkan kedudukan tak tertandingi di ranah hadis sudah maksimal dan memuncak; mulai dari argumen Ahlul Bait, ‘ishmat al-Imâm (kemaksuman para Imam), menoreh para pemuka sahabat sampai pada pendiskreditan posisi Ahlussunnah di bidang Hadis. Namun, adakah semua itu cukup kuat untuk menyampaikan sekte Syiah pada apa yang mereka harapkan?
Tanggapan
Data-data mengenai pandangan Syiah terhadap hadis yang telah kami cantumkan di atas, tentu sangat kontras dengan pandangan Ahlussunnah. Ada beberapa poin yang penting untuk dikritisi, antara lain adalah pernyataan mereka bahwa Syiah tidak menerima hadis-hadis Nabi saw. kecuali yang dianggap shahih dari jalur Ahlul Bait. Komentar yang antara lain diungkapkan oleh Kasyif al-Ghitha’ ini, sebenarnya tak lebih dari sekedar pengkaburan dari kalangan Syiah.
Memang, pernyataan-pernyataan Syiah seringkali menjebak, dengan menggunakan premis-premis logika yang ketika dinalar, nantinya akan mengantarkan pada kesimpulan (natîjah) bahwa pernyataan mereka memang benar. Dalam hal ini, pernyataan Syiah yang “tidak menerima Hadis kecuali yang datang dari Ahlul Bait”, akan memunculkan kesan di kalangan awam, bahwa hadis-hadis mereka memang bersumber dari Nabi Muhammad saw. Sebab logikanya, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq sudah pasti nyambung (ittishâl) pada Nabi saw., dengan penalaran persis seperti yang dibuat oleh Dr. Quraish Shihab di atas: “Imam Ja’far ash-Shadiq dari ayahnya Muhammad al-Baqir, dari ayahnya Ali Zainal Abidin, dari ayahnya Sayyidina Husain, dari ayahnya Amirul Mu’minin Ali ibnu Abi Thalib, dari Rasulullah saw.”
Selanjutnya, logika di atas diback-up dengan doktrin Syiah yang menyatakan bahwa semua Imam adalah ma’shum, terpelihara dari dosa apa pun. Sehingga, hadis yang diriwayatkan dari Imam Duabelas pasti shahih tanpa harus ittishâl dengan Rasulullah saw. Sementara hadis-hadis dari perawi yang lain, tentu sangat patut untuk disangsikan, dan mudah untuk ditolak.
Dengan logika semacam itulah, Syiah kemudian menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh selain Ahlul Bait. Padahal, sebagaimana telah kami tekankan sebelumnya, bahwa hal tersebut tak lebih dari sekedar pengkaburan semata. Sebab nyatanya tidak semua riwayat Ahlul Bait yang mereka terima. Riwayat yang datang dari keturunan Sayyidah Fathimah radhiyallâhu ‘anhâ dari jalur Sayyidina Hasan Ra. mereka tolak dengan alasan bahwa keturunan Sayyidina Hasan Ra. bukan Imam.[16] Lebih mempertegas sikap Syiah dalam penerimaan riwayat secara sepihak dan sarat kepentingan ini, ath-Thusi dalam al-Istibshâr menolak mentah-mentah hadis dari Zaid bin Ali ra.[17]
Statemen Syiah bahwa mereka tidak meriwayatkan hadis shahîh kecuali melalui jalur Ahlul Bait, sebenarnya akan menjadi senjata makan tuan, ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa tidak semua hadis Nabi diterima oleh Sayyidina Ali Ra. Mungkinkah Sayyidina Ali Ra. dapat meriwayatkan semua hadis Nabi saw. kepada anak cucunya hanya seorang diri, padahal Sayyidina Ali Ra. tidak selamanya kumpul dengan Rasulullah saw.? Juga bagaimana mungkin Sayyidina Ali dapat meriwayatkan secara langsung ihwal Nabi saw. yang hanya mungkin diketahui oleh para istri beliau?
Selain itu, telah jelas pula bahwa penyebaran ilmu-ilmu agama ke berbagai wilayah dunia tidak sepenuhnya melalui jalur Ahlul Bait. Di Madinah, yang pertama kali mengajak penduduknya memeluk agama Islam dan mengajari sahabat-sahabat Anshar tentang al-Qur’an adalah As’ad bin Zurarah atas perintah dari Nabi Muhammad saw. Di Bahrain, yang membawa panji Islam adalah ‘Alla’ bin al-Hardhamy, sedangkan di Yaman adalah Abu Musa al-Asy’ary dan Mu’adz bin Jabal.[18]
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] Lihat, al-Muwatha, Juz 2, hlm. 899, No. Hadis 1594
[2] Mengenai dalil-dalil akan keadilan sahabat akan kami kemukakan lebih rinci dalam pembahasan Syiah, Sahabat dan Ahlussunnah pada beberapa edisi selanjutnya.
[3] Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki menyatakan, bahwa di antara ulama yang menyatakan ijma’ tersebut adalah Ibn Abd al-Barr, Imam Nawawi dan Imam al-Haramain. Lihat, Manhal al-Lathîf fî Ushûl al-Hadîts asy-Syarîf, hlm. 177.
[4] Lihat, Ibn Shalah, Muqaddimah Ibn Shalâh, hlm. 147.
[5] Lihat, Manhal al-Lathîf fî Ushûl al-Hadîts asy-Syarîf, hlm. 177.
[6] Lihat, Muhammad Taqi al-Hakim, al-Ushûl al-‘Ammah li al-Fiqh al-Muqârin, hlm. 122.
[7] Lihat, Abdullah Fayyadh, Târikh al-Imâmiyah, hlm. 140.
[8] Lihat, I’tiqâdât Ibn Bâbawaih, hlm. 106. Lihat juga dalam Ushûl al-Madzhab ar-Râfidhi, karya Dr. Nashir bin Abdullah bin Ali al-Qifari, juz 1 hlm. 363; Dr. Shalih ar-Raqb, Al-Wâsyi’ah fî Kasyf Syanâi’ ‘Aqâ’îd asy-Syi’ah, hlm. 73, cet. 1 (1424 H/2003 M).
[9] Lihat, Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’, Ashl asy-Syî’ah wa Ushûliha, hlm. 79.
[10] Lihat, Dr. Quraish Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, hlm. 154-155.
[11] Dikutip oleh al-Qifari dalam Ushûl al-Madzhab ar-Râfidhi, juz 1, hlm. 363.
[12] Lihat, Dr. Quraish Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, hlm. 160.
[13] Lihat, Al-Kâfi, juz 1, hlm. 372, Hadis No. 2, Dar al-Kutub al-Islamiyah.
[14] Lihat, Emila Renita AZ, Mengapa Kita Memilih Syiah? Tanggapan untuk Majalah Sabili Edisi No. 5 th. XVIII, 22 September 2005, hlm. 16.
[15] Lihat, Dr. Quraish Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, hlm. 150.
[16] Lihat, Al-Qifari dalam Ushûl al-Madzhab ar-Râfidhî, juz 1, hlm. 363.
[17] Lihat, Al-Istibshâr, juz 1 hlm. 66.
[18] Lihat, Al-Qifari dalam Ushûl al-Madzhab ar-Râfidhî, juz 1 hlm. 365; Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah juz 5 hlm.34.
(sigabah.com/syiahindonesia.com)
Syiahindonesia.com - Syiah dan Hadis (2)
Syiah mencela Abu Hurairah Ra.
Dalam upaya membumikan doktrin bahwa hadis yang shahih hanya melalui jalur Ahlul Bait, rekayasa Syiah berlanjut dengan mengorek para pemuka sahabat yang terhitung sebagai al-Muktsirîn (bendaharawan) di bidang hadis, utamanya Abu Hurairah Ra., sebagaimana telah disinggung pada edisi sebelumnya.
Sebagaimana telah kita maklumi, bahwa Abu Hurairah masuk Islam pada masa perang Khaibar, bulan Muharram tahun 7 H. Sejak itu hingga Nabi Saw. wafat tahun 11 H, persahabatannya dengan beliau relatif singkat, sekitar 4 tahun lebih. [1]
Meski singkat, namun dia mampu mengoleksi hadis Nabi sebanyak 5.374 hadis. Jumlah ini menempatkan posisi Abu Huraerah pada urutan pertama sebagai bendaharawan hadis di kalangan sahabat. Urutan berikutnya (2) Abdullah bin Umar bin Khatab sebanyak 2.630 hadis; (3) Anas bin Malik, sebanyak 2.286 hadis; (4) Aisyah, sebanyak 2.210 hadis; (5) Abdulah bin Abas, sebanyak 1.660 hadis; (6) Jabir bin Abdullah, sebanyak 1.540 hadis; dan (7) Abu Said al-Khudri, sebanyak 1.170 hadis. [2]
Selain mereka jumlah hadisnya tidak melebihi angka 1000 hadis, termasuk di dalamnya para tokoh Muhajirin dan Anshar, yang lebih lama bergaul dengan Nabi. Dengan demikian, Abu Huraerah menjadi rujukan banyak sahabat Nabi dan para tabi’in. Kata Imam al-Bukhari, “Hadis Abu Huraerah diriwayatkan oleh 800 orang lebih. [3]
Bagi orang yang sentimen, seperti Syi’ah Imamiyyah, jumlah hadis sebanyak itu tentu saja akan menimbulkan kecurigaan. Namun bagi yang objektif melihat kiprah dan kinerjanya, bahkan yang paling penting berkah doa Nabi pada dirinya, tentu saja angka sebanyak itu dapat dipahami.
Sejatinya, melancarkan suara-suara miring terhadap sahabat pemuka hadis sekaliber Abu Hurairah Ra., dengan menggunakan pendekatan apa pun, tidak akan pernah bisa meruntuhkan reputasi dan kebesaran beliau, sebab sudah pasti akan bertentangan dengan dalil-dalil hadis, pengakuan para pemuka sahabat dan pemuka ulama serta realita sejarah.
Jawaban untuk secuil sentilan terhadap Abu Hurairah Ra. sebetulnya telah dilakukan oleh para ulama secara ilmiah dan rasional. Banyak buku-buku yang ditulis oleh para ulama khusus untuk membantah tudingan miring terhadap sahabat senior Nabi saw. tersebut, di antaranya adalah al-Burhân fi Tabri’at Abî Hurairah min al-Buthân yang ditulis oleh Abdullah bin Abdul Aziz bin Ali an-Nash, Dr. Al-A’zhami dalam Abû Hurairah fi Dhaw’i Marwiyâtih, Muhammad Abu Shuhbah dalam Abû Hurairah fi al-Mîzân, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dengan bukunya Abû Hurairah Riwâyat al-Islâm dan lain-lain.
Karenanya, di sini, kami hanya akan menampilkan poin-poin penting yang kiranya lebih dari cukup untuk meruntuhkan asumsi-asumsi Syiah seputar Abu Hurairah Ra., baik dari hadis, ungkapan sahabat, ulama serta realita sejarah. Dalam hadis, banyak sekali ditemukan penjelasan-penjelasan yang meneguhkan supremasi Abu Hurairah Ra. dalam bidang hadis, berkenaan dengan doa Nabi saw. untuk beliau, ketekunan beliau dalam mempelajari hadis, ketekunan daya ingat beliau, keadaan beliau yang senantiasa menyertai Nabi Muhammad saw. dan lain sebagainya. Hadis-hadis tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Imam al-Bukhari berkata:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ أَبُو مُصْعَبٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَسْمَعُ مِنْكَ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنْسَاهُ قَالَ ابْسُطْ رِدَاءَكَ فَبَسَطْتُهُ قَالَ فَغَرَفَ بِيَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ ضُمَّهُ فَضَمَمْتُهُ فَمَا نَسِيتُ شَيْئًا بَعْدَهُ.
“Ahmad bin Abu Bakar Abu Mush’ab telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, ‘Muhammad bin Ibrahim bin Dinar telah menceritakan kepada kami, dari Ibnu Abi Dzi’bin, dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah Ra., ia berkata, ‘Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah saw, saya banyak mendengar hadis dari Baginda, namun saya banyak yang lupa.’ Kemudian Nabi saw. bersabda, ‘Hamparkan selendangmu.’ Kemudian Abu Hurairah menghamparkan selendangnya, lalu Nabi mecidukkan kedua tangannya (dengan isyarat, dan meletakkan ke dalam selendang), lalu Nabi saw. bersabda, ‘Dekaplah selendang itu.’ Lalu selendang itu Aku dekap. Dan setelah kejadian itu, Aku tidak pernah lupa terhadap hadis-hadis Nabi Muhammad saw. sedikitpun’.”[4]
Dalam riwayat lain, Abu Hurairah menerangkan latar belakang mengapa dirinya banyak mengoleksi hadis.
… عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ إِنَّ النَّاسَ يَقُولُونَ أَكْثَرَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَلَوْلاَ آيَتَانِ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَا حَدَّثْتُ حَدِيثًا ثُمَّ يَتْلُو إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنْ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى إِلَى قَوْلِهِ الرَّحِيمُ إِنَّ إِخْوَانَنَا مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ الصَّفْقُ بِالأَسْوَاقِ وَإِنَّ إِخْوَانَنَا مِنْ الأَنْصَارِ كَانَ يَشْغَلُهُمْ الْعَمَلُ فِي أَمْوَالِهِمْ وَإِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِشِبَعِ بَطْنِهِ وَيَحْضُرُ مَا لاَ يَحْضُرُونَ وَيَحْفَظُ مَا لاَ يَحْفَظُونَ.
“Dari Abi Hurairah Ra., ia berkata, ‘Sesungguhnya mereka berkata, ‘Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadis.’ Andaikan tidak ada dua ayat dalam al-Qur’an niscaya aku tidak akan pernah meriwayatkan sebuah hadis. Kemudian Abu Hurairah membaca ayat “Innal ladzîna yaktumûna….” Sesungguhnya para sahabat Muhajirin sibuk dengan berdagang di pasar, dan sahabat Anshar juga sibuk bertani di ladang mereka, sedangkan Abu Hurairah (berkata sendiri), untuk menunjang kebutuhan pangannya, maka ia hadir (bersama Nabi) di majlis yang tidak dihadiri oleh mereka (para sahabat), dan menghafal (hadis) yang tidak dihafal oleh mereka.”[5]
Dalam perkataannya terkait dengan kaum Muhajirin dan Anshar, tersirat petunjuk bahwa aspek keislaman, hijrah, dan persahabatan dengan Rasul tidak dijadikan sebagai tolok ukur. Karena dilihat dari aspek-aspek ini para sahabat lain lebih istimewa. Namun yang dijadikan sebagai tolok ukur adalah aspek mulaazamah (intensitas pergaulan dan interaksi ilmiah). Karena pada aspek ini Abu Huraerah lebih unggul dari para sahabat lainnya. Meski demikian, aspek ini dibicarakan oleh Abu Huraerah bukan dalam konteks pamer kehebatan ilmu atau paling semangat mencari ilmu, melainkan sebagai uslub tawadhu (gaya ungkap merendahkan diri) dengan menyatakan: “untuk menunjang kebutuhan pangannya.” Atau dalam ungkapan lain: “karena memenuhi perutku.”Maksud perkataannya itu bahwa Abu Huraerah merasa cukup dengan apa yang dapat dimakan sehingga tidak tersibukkan dengan mencari dan mengelola harta kekayaan.
Dalam redaksi lain, Abu Huraerah menjelaskan faktor terpenting berupa berkah yang dianugerahkan Allah kepadanya, melalui khidmat kepada Rasulullah. Sehubungan dengan itu, Nabi saw. bersabda:
أَبُوا هُرَيْرَةَ وِعَاعُ الْعِلْمِ
“Abu Hurairah adalah gudang ilmu.”
Syiah mencela Abu Hurairah Ra.
Dalam upaya membumikan doktrin bahwa hadis yang shahih hanya melalui jalur Ahlul Bait, rekayasa Syiah berlanjut dengan mengorek para pemuka sahabat yang terhitung sebagai al-Muktsirîn (bendaharawan) di bidang hadis, utamanya Abu Hurairah Ra., sebagaimana telah disinggung pada edisi sebelumnya.
Sebagaimana telah kita maklumi, bahwa Abu Hurairah masuk Islam pada masa perang Khaibar, bulan Muharram tahun 7 H. Sejak itu hingga Nabi Saw. wafat tahun 11 H, persahabatannya dengan beliau relatif singkat, sekitar 4 tahun lebih. [1]
Meski singkat, namun dia mampu mengoleksi hadis Nabi sebanyak 5.374 hadis. Jumlah ini menempatkan posisi Abu Huraerah pada urutan pertama sebagai bendaharawan hadis di kalangan sahabat. Urutan berikutnya (2) Abdullah bin Umar bin Khatab sebanyak 2.630 hadis; (3) Anas bin Malik, sebanyak 2.286 hadis; (4) Aisyah, sebanyak 2.210 hadis; (5) Abdulah bin Abas, sebanyak 1.660 hadis; (6) Jabir bin Abdullah, sebanyak 1.540 hadis; dan (7) Abu Said al-Khudri, sebanyak 1.170 hadis. [2]
Selain mereka jumlah hadisnya tidak melebihi angka 1000 hadis, termasuk di dalamnya para tokoh Muhajirin dan Anshar, yang lebih lama bergaul dengan Nabi. Dengan demikian, Abu Huraerah menjadi rujukan banyak sahabat Nabi dan para tabi’in. Kata Imam al-Bukhari, “Hadis Abu Huraerah diriwayatkan oleh 800 orang lebih. [3]
Bagi orang yang sentimen, seperti Syi’ah Imamiyyah, jumlah hadis sebanyak itu tentu saja akan menimbulkan kecurigaan. Namun bagi yang objektif melihat kiprah dan kinerjanya, bahkan yang paling penting berkah doa Nabi pada dirinya, tentu saja angka sebanyak itu dapat dipahami.
Sejatinya, melancarkan suara-suara miring terhadap sahabat pemuka hadis sekaliber Abu Hurairah Ra., dengan menggunakan pendekatan apa pun, tidak akan pernah bisa meruntuhkan reputasi dan kebesaran beliau, sebab sudah pasti akan bertentangan dengan dalil-dalil hadis, pengakuan para pemuka sahabat dan pemuka ulama serta realita sejarah.
Jawaban untuk secuil sentilan terhadap Abu Hurairah Ra. sebetulnya telah dilakukan oleh para ulama secara ilmiah dan rasional. Banyak buku-buku yang ditulis oleh para ulama khusus untuk membantah tudingan miring terhadap sahabat senior Nabi saw. tersebut, di antaranya adalah al-Burhân fi Tabri’at Abî Hurairah min al-Buthân yang ditulis oleh Abdullah bin Abdul Aziz bin Ali an-Nash, Dr. Al-A’zhami dalam Abû Hurairah fi Dhaw’i Marwiyâtih, Muhammad Abu Shuhbah dalam Abû Hurairah fi al-Mîzân, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dengan bukunya Abû Hurairah Riwâyat al-Islâm dan lain-lain.
Karenanya, di sini, kami hanya akan menampilkan poin-poin penting yang kiranya lebih dari cukup untuk meruntuhkan asumsi-asumsi Syiah seputar Abu Hurairah Ra., baik dari hadis, ungkapan sahabat, ulama serta realita sejarah. Dalam hadis, banyak sekali ditemukan penjelasan-penjelasan yang meneguhkan supremasi Abu Hurairah Ra. dalam bidang hadis, berkenaan dengan doa Nabi saw. untuk beliau, ketekunan beliau dalam mempelajari hadis, ketekunan daya ingat beliau, keadaan beliau yang senantiasa menyertai Nabi Muhammad saw. dan lain sebagainya. Hadis-hadis tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Imam al-Bukhari berkata:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ أَبُو مُصْعَبٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَسْمَعُ مِنْكَ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنْسَاهُ قَالَ ابْسُطْ رِدَاءَكَ فَبَسَطْتُهُ قَالَ فَغَرَفَ بِيَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ ضُمَّهُ فَضَمَمْتُهُ فَمَا نَسِيتُ شَيْئًا بَعْدَهُ.
“Ahmad bin Abu Bakar Abu Mush’ab telah menceritakan kepada kami. Ia berkata, ‘Muhammad bin Ibrahim bin Dinar telah menceritakan kepada kami, dari Ibnu Abi Dzi’bin, dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah Ra., ia berkata, ‘Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah saw, saya banyak mendengar hadis dari Baginda, namun saya banyak yang lupa.’ Kemudian Nabi saw. bersabda, ‘Hamparkan selendangmu.’ Kemudian Abu Hurairah menghamparkan selendangnya, lalu Nabi mecidukkan kedua tangannya (dengan isyarat, dan meletakkan ke dalam selendang), lalu Nabi saw. bersabda, ‘Dekaplah selendang itu.’ Lalu selendang itu Aku dekap. Dan setelah kejadian itu, Aku tidak pernah lupa terhadap hadis-hadis Nabi Muhammad saw. sedikitpun’.”[4]
Dalam riwayat lain, Abu Hurairah menerangkan latar belakang mengapa dirinya banyak mengoleksi hadis.
… عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ إِنَّ النَّاسَ يَقُولُونَ أَكْثَرَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَلَوْلاَ آيَتَانِ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَا حَدَّثْتُ حَدِيثًا ثُمَّ يَتْلُو إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنْ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى إِلَى قَوْلِهِ الرَّحِيمُ إِنَّ إِخْوَانَنَا مِنْ الْمُهَاجِرِينَ كَانَ يَشْغَلُهُمْ الصَّفْقُ بِالأَسْوَاقِ وَإِنَّ إِخْوَانَنَا مِنْ الأَنْصَارِ كَانَ يَشْغَلُهُمْ الْعَمَلُ فِي أَمْوَالِهِمْ وَإِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يَلْزَمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِشِبَعِ بَطْنِهِ وَيَحْضُرُ مَا لاَ يَحْضُرُونَ وَيَحْفَظُ مَا لاَ يَحْفَظُونَ.
“Dari Abi Hurairah Ra., ia berkata, ‘Sesungguhnya mereka berkata, ‘Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadis.’ Andaikan tidak ada dua ayat dalam al-Qur’an niscaya aku tidak akan pernah meriwayatkan sebuah hadis. Kemudian Abu Hurairah membaca ayat “Innal ladzîna yaktumûna….” Sesungguhnya para sahabat Muhajirin sibuk dengan berdagang di pasar, dan sahabat Anshar juga sibuk bertani di ladang mereka, sedangkan Abu Hurairah (berkata sendiri), untuk menunjang kebutuhan pangannya, maka ia hadir (bersama Nabi) di majlis yang tidak dihadiri oleh mereka (para sahabat), dan menghafal (hadis) yang tidak dihafal oleh mereka.”[5]
Dalam perkataannya terkait dengan kaum Muhajirin dan Anshar, tersirat petunjuk bahwa aspek keislaman, hijrah, dan persahabatan dengan Rasul tidak dijadikan sebagai tolok ukur. Karena dilihat dari aspek-aspek ini para sahabat lain lebih istimewa. Namun yang dijadikan sebagai tolok ukur adalah aspek mulaazamah (intensitas pergaulan dan interaksi ilmiah). Karena pada aspek ini Abu Huraerah lebih unggul dari para sahabat lainnya. Meski demikian, aspek ini dibicarakan oleh Abu Huraerah bukan dalam konteks pamer kehebatan ilmu atau paling semangat mencari ilmu, melainkan sebagai uslub tawadhu (gaya ungkap merendahkan diri) dengan menyatakan: “untuk menunjang kebutuhan pangannya.” Atau dalam ungkapan lain: “karena memenuhi perutku.”Maksud perkataannya itu bahwa Abu Huraerah merasa cukup dengan apa yang dapat dimakan sehingga tidak tersibukkan dengan mencari dan mengelola harta kekayaan.
Dalam redaksi lain, Abu Huraerah menjelaskan faktor terpenting berupa berkah yang dianugerahkan Allah kepadanya, melalui khidmat kepada Rasulullah. Sehubungan dengan itu, Nabi saw. bersabda:
أَبُوا هُرَيْرَةَ وِعَاعُ الْعِلْمِ
“Abu Hurairah adalah gudang ilmu.”
Di antara bukti akan kekuatan hafalan Abu Hurairah, adalah cerita yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dengan sanadnya: Sekretaris Marwan bin al-Hakam, Zu’aizi’ah, bercerita padaku, bahwa suatu ketika Marwan mengundang Abu Hurairah Ra. (untuk membacakan hadis). Kemudian Marwan menyuruhku duduk di belakang tabir guna mencatat hadis-hadis yang dibaca Abu Hurairah tanpa sepengetahuannya, dan Marwan pun bertanya pada Abu Hurairah tentang hadis-hadis Nabi saw. Pada tahun berikutnya, Marwan kembali memanggil Abu Hurairah guna membacakan hadis yang beliau baca tahun kemarin. Dan Marwan kembali menyuruhku untuk duduk di belakang tabir guna menyesuaikan bacaan Abu Hurairah dengan catatanku. Ternyata bacaan Abu Hurairah di tahun ini persis sama dengan bacaan beliau tahun kemarin tanpa ada pengurangan atau penambahan satu huruf pun.
Selain dari hadis-hadis Nabi saw., keunggulan-keunggulan Abu Hurairah di bidang hadis juga dapat diketahui dari pernyataan-pernyataan para sahabat tentang beliau. Dalam hal ini, misalnya, Syu’bah mengatakan: dari Asy‘ats bin Salim, dari ayahnya, ia berkata: Saya mendengar Abu Ayyub bercerita tentang Abu Hurairah. Lalu dikatakan padanya: “Kamu adalah sahabat Rasulullah saw., mengapa yang kau ceritakan adalah Abu Hurairah? Lalu ia menjawab: “Abu Hurairah telah mendengar apa yang tidak kami dengar. Dan aku lebih suka menceritakan sesuatu dari Abu Hurairah, daripada menceritakan dari Rasulullah saw., apa yang tidak Aku dengar langsung dari beliau.”[6]
Sejarawan dan mufassir Islam terkemuka, Ibnu Katsir, mengatakan bahwa Abu Hurairah Ra. merupakan sahabat yang paling kuat hafalannya, kendati beliau bukan yang paling utama.[7] Ibnu Katsir juga memaparkan rekaman sejarah seputar biografi Abu Hurairah Ra. Katanya: Abu Hurairah Ra. selalu menyertai Rasulullah saw. setelah beliau masuk Islam, dan tidak pernah berpisah dengan beliau, baik pada saat bepergian maupun tidak. Abu Hurairah ra. adalah sahabat yang paling gemar menyimak hadis dari Rasulullah saw. dan belajar dari beliau. Abu Hurairah selalu menyertai Nabi saw. dan tidak menghiraukan isi perutnya.[8]
Nâshir as-Sunnah, Imam asy-Syafi’i mengatakan: “Abu Hurairah ra. adalah orang yang memiliki hafalan yang paling cemerlang dalam meriwayatkan hadis pada masanya.”[9] Sementara al-Hakim mengatakan: “Saya telah menyelidiki keutamaan-keutamaan Abu Hurairah ra., karena beliau telah menghafal banyak hadis-hadis Nabi saw., dan hal itu telah disaksikan oleh para sahabat dann tabi’in, sebab setiap orang yang berusaha menghafal hadis mulai dari awal kerajaan Islam sampai pada masa sekarang, pasti orang tersebut menjadi pengikut dan pendukung Abu Hurairah ra., dialah (Abu Hurairah) pemukanya dan yang lebih berhak diberi gelar al-hâfizh.”[10]
Dengan demikian, maka keagungan, ketekunan, kecerdasan dan daya ingat Abu Hurairah tidak perlu disangsikan, dan karena itulah posisi beliau di bidang hadis demikian tinggi tak tertandingi. Yang perlu disangsikan justru pertanyaan kesangsian terhadap Abu Hurairah ra., seperti ditulis oleh Dr. Quraish Shihab: “Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, maka semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan suatu keharusan.”[11]
Pernyataan seperti yang dilontarkan oleh Dr. Quraish Shihab tersebut sebetulnya hanya muncul dari asumsi-asumsi tanpa dasar dan tidak memiliki landasan ilmiah sama sekali. Sebab jelas sekali jika beliau telah mengabaikan dalil-dalil tentang keutamaan Abu Hurairah dalam hadis-hadis Nabi saw., data-data sejarah dan penelitian sekaligus penilaian ulama yang mumpuni di bidangnya (hadis dan sejarah). Kekurang-cakapan Dr. Quraish Shihab di bidang hadis semakin tampak, ketika beliau justru menjadikan buku Mahmud Abu Rayyah, Adhwâ’ ‘ala as-Sunnah Muhammadiyah sebagai rujukan dalam upaya menurunkan reputasi Abu Hurairah Ra. Padahal, semua pakar hadis kontemporer paham betul akan status dan pemikiran Abu Rayyah dalam hadis.[12]
Mengenai hitungan matematis Muhammad Tijani, yang menyatakan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. terlalu banyak, sehingga terkesan absurd, sebenarnya muncul dari kekurang-telitian Tijani dan mereka yang menyepakatinya. Dalam Abû Hurairah fî Dhaw’i Marwiyâtih, Dr. Al-A’zhami melakukan penelitian tentang hal ini, dan menghasilkan temuan bahwa jumlah hadis riwayat Abu Hurairah Ra. yang mencapai 5000 lebih itu jika menghitung hadis yang diulang-ulangi substansinya. Jika penghitungan dilakukan dengan mengabaikan hadis-hadis yang diulang-ulangi, maka hadis-hadis Abu Hurairah Ra. yang ada dalam Musnad dan Kutub as-Sittah tinggal 1336 saja. Nah, kadar ini, kata Ali as-Salus, bisa di hafal oleh pelajar yang tidak terlalu cerdas dalam waktu kurang dari satu tahun. Bagaimana dengan Abu Hurairah, yang hafalannya merupakan bagian dari mukjizat kenabian?[13]
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] Lihat, keterangan Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, Juz 2, hlm. 128.
[2] Lihat, Ushul al-Hadits, hlm. 404-405.
[3] Lihat, keterangan adz-Dzahabi dalam Tadzkirah al-Hufazh, Juz 1, hlm. 36; Ibnu Hajar dalam al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, Juz 4, hlm. 205.
[4] Lihat, Shahîh Bukhâri, juz 1, hlm. 202.
[5] Lihat, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz 1, hlm. 189.
[6] Diceritakan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, juz 3, hlm. 512 dan adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâm an-Nubalâ’, juz 2, hlm. 606.
[7] Lihat, Ibnu Katsir, al-Bidbâyah wa an-Nihâyah, juz 8, hlm. 106.
[8] Ibid, juz 8 hlm. 104.
[9] Lihat, Asy-Syafi’i, ar-Risâlah, hlm. 281.
[10] Lihat, Al-Hakim, Mustadrak, juz 3 hlm. 512.
[11] Lihat, Dr. Quraish Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, hlm. 160.
[12]Mahmud Abu Rayyah adalah penentang hadis kontemporer. Inti dari karya-karya dan pemikirannya adalah menolak otentisitas dan otoritas hadis, mempersoalkan integritas (‘adâlah) para sahabat pada umumnya dan Abu Hurairah Khususnya. Karya-karyanya antara lain: Ka’b al-Akhbâr huwa ash-Shahyûniyu al-Awwal; Adhwa’ ‘alâ as-Sunnah Muhammadiyah dan Syekh al-Madhîrah Abu Hurairah.
Karena pemikiran dan karya-karyanya itu, Abu Rayyah langsung dihujani kritik oleh para ulama, antara lain Muhammad Abu Shuhbah dengan bukunya Abû Hurairah fi al-Mîzân; Muhammad as-Samahi, Musthafa as-Saba’i, Sulaiman an-Nadwi, Muhibbuddin al-Khatib et all (dalam karya bersama mereka: Difâ’ ‘an al-Hadîts an-Nabawî wa Tafnîd Syubuhat Khushûmîhî; Abdurrazaq Hamzah dalam Zhulumât Abî Rayyah Imâm Adhwâ’ ‘alâ as-Sunnah an-Nabawiyah; Abdurrahman ibn Yahya al-Yamani dalam al-Anwâr al-Kâsyifah limâ fi Kitab Adhwâ’ ‘alâ as-Sunnah min adh-Dhalâl wa at-Tadhlîl wa al-Mujâzafah; Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam Abû Hurairah Riwâyat al-Islâm. Kendati menyangkal jika pikirannya terpengaruh oleh orientalis, namun tidak bisa dimungkiri jika pemikirannya (Abu Rayyah) dan pemikiran orientalis tentang hadis memang sulit dibedakan. Dari sini, yang sulit dipercaya namun nyata kebenarannya adalah, bahwa di tengah hujan kritik yang membanjiri Abu Rayyah ini, Dr. Quraish Shihab justru mengadopsi pemikirannya begitu saja, tanpa beban apa pun.
[13] Lihat, Dr. Ali as-Salus, Ma’a asy-Syi’ah Itsna ‘Asyariyah fi al-Ushûl wa al-Furû, juz 2, hlm. 390.
(sigabah.com/syiahindonesia.com)
Selain dari hadis-hadis Nabi saw., keunggulan-keunggulan Abu Hurairah di bidang hadis juga dapat diketahui dari pernyataan-pernyataan para sahabat tentang beliau. Dalam hal ini, misalnya, Syu’bah mengatakan: dari Asy‘ats bin Salim, dari ayahnya, ia berkata: Saya mendengar Abu Ayyub bercerita tentang Abu Hurairah. Lalu dikatakan padanya: “Kamu adalah sahabat Rasulullah saw., mengapa yang kau ceritakan adalah Abu Hurairah? Lalu ia menjawab: “Abu Hurairah telah mendengar apa yang tidak kami dengar. Dan aku lebih suka menceritakan sesuatu dari Abu Hurairah, daripada menceritakan dari Rasulullah saw., apa yang tidak Aku dengar langsung dari beliau.”[6]
Sejarawan dan mufassir Islam terkemuka, Ibnu Katsir, mengatakan bahwa Abu Hurairah Ra. merupakan sahabat yang paling kuat hafalannya, kendati beliau bukan yang paling utama.[7] Ibnu Katsir juga memaparkan rekaman sejarah seputar biografi Abu Hurairah Ra. Katanya: Abu Hurairah Ra. selalu menyertai Rasulullah saw. setelah beliau masuk Islam, dan tidak pernah berpisah dengan beliau, baik pada saat bepergian maupun tidak. Abu Hurairah ra. adalah sahabat yang paling gemar menyimak hadis dari Rasulullah saw. dan belajar dari beliau. Abu Hurairah selalu menyertai Nabi saw. dan tidak menghiraukan isi perutnya.[8]
Nâshir as-Sunnah, Imam asy-Syafi’i mengatakan: “Abu Hurairah ra. adalah orang yang memiliki hafalan yang paling cemerlang dalam meriwayatkan hadis pada masanya.”[9] Sementara al-Hakim mengatakan: “Saya telah menyelidiki keutamaan-keutamaan Abu Hurairah ra., karena beliau telah menghafal banyak hadis-hadis Nabi saw., dan hal itu telah disaksikan oleh para sahabat dann tabi’in, sebab setiap orang yang berusaha menghafal hadis mulai dari awal kerajaan Islam sampai pada masa sekarang, pasti orang tersebut menjadi pengikut dan pendukung Abu Hurairah ra., dialah (Abu Hurairah) pemukanya dan yang lebih berhak diberi gelar al-hâfizh.”[10]
Dengan demikian, maka keagungan, ketekunan, kecerdasan dan daya ingat Abu Hurairah tidak perlu disangsikan, dan karena itulah posisi beliau di bidang hadis demikian tinggi tak tertandingi. Yang perlu disangsikan justru pertanyaan kesangsian terhadap Abu Hurairah ra., seperti ditulis oleh Dr. Quraish Shihab: “Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, maka semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan suatu keharusan.”[11]
Pernyataan seperti yang dilontarkan oleh Dr. Quraish Shihab tersebut sebetulnya hanya muncul dari asumsi-asumsi tanpa dasar dan tidak memiliki landasan ilmiah sama sekali. Sebab jelas sekali jika beliau telah mengabaikan dalil-dalil tentang keutamaan Abu Hurairah dalam hadis-hadis Nabi saw., data-data sejarah dan penelitian sekaligus penilaian ulama yang mumpuni di bidangnya (hadis dan sejarah). Kekurang-cakapan Dr. Quraish Shihab di bidang hadis semakin tampak, ketika beliau justru menjadikan buku Mahmud Abu Rayyah, Adhwâ’ ‘ala as-Sunnah Muhammadiyah sebagai rujukan dalam upaya menurunkan reputasi Abu Hurairah Ra. Padahal, semua pakar hadis kontemporer paham betul akan status dan pemikiran Abu Rayyah dalam hadis.[12]
Mengenai hitungan matematis Muhammad Tijani, yang menyatakan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. terlalu banyak, sehingga terkesan absurd, sebenarnya muncul dari kekurang-telitian Tijani dan mereka yang menyepakatinya. Dalam Abû Hurairah fî Dhaw’i Marwiyâtih, Dr. Al-A’zhami melakukan penelitian tentang hal ini, dan menghasilkan temuan bahwa jumlah hadis riwayat Abu Hurairah Ra. yang mencapai 5000 lebih itu jika menghitung hadis yang diulang-ulangi substansinya. Jika penghitungan dilakukan dengan mengabaikan hadis-hadis yang diulang-ulangi, maka hadis-hadis Abu Hurairah Ra. yang ada dalam Musnad dan Kutub as-Sittah tinggal 1336 saja. Nah, kadar ini, kata Ali as-Salus, bisa di hafal oleh pelajar yang tidak terlalu cerdas dalam waktu kurang dari satu tahun. Bagaimana dengan Abu Hurairah, yang hafalannya merupakan bagian dari mukjizat kenabian?[13]
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] Lihat, keterangan Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, Juz 2, hlm. 128.
[2] Lihat, Ushul al-Hadits, hlm. 404-405.
[3] Lihat, keterangan adz-Dzahabi dalam Tadzkirah al-Hufazh, Juz 1, hlm. 36; Ibnu Hajar dalam al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, Juz 4, hlm. 205.
[4] Lihat, Shahîh Bukhâri, juz 1, hlm. 202.
[5] Lihat, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz 1, hlm. 189.
[6] Diceritakan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, juz 3, hlm. 512 dan adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâm an-Nubalâ’, juz 2, hlm. 606.
[7] Lihat, Ibnu Katsir, al-Bidbâyah wa an-Nihâyah, juz 8, hlm. 106.
[8] Ibid, juz 8 hlm. 104.
[9] Lihat, Asy-Syafi’i, ar-Risâlah, hlm. 281.
[10] Lihat, Al-Hakim, Mustadrak, juz 3 hlm. 512.
[11] Lihat, Dr. Quraish Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, hlm. 160.
[12]Mahmud Abu Rayyah adalah penentang hadis kontemporer. Inti dari karya-karya dan pemikirannya adalah menolak otentisitas dan otoritas hadis, mempersoalkan integritas (‘adâlah) para sahabat pada umumnya dan Abu Hurairah Khususnya. Karya-karyanya antara lain: Ka’b al-Akhbâr huwa ash-Shahyûniyu al-Awwal; Adhwa’ ‘alâ as-Sunnah Muhammadiyah dan Syekh al-Madhîrah Abu Hurairah.
Karena pemikiran dan karya-karyanya itu, Abu Rayyah langsung dihujani kritik oleh para ulama, antara lain Muhammad Abu Shuhbah dengan bukunya Abû Hurairah fi al-Mîzân; Muhammad as-Samahi, Musthafa as-Saba’i, Sulaiman an-Nadwi, Muhibbuddin al-Khatib et all (dalam karya bersama mereka: Difâ’ ‘an al-Hadîts an-Nabawî wa Tafnîd Syubuhat Khushûmîhî; Abdurrazaq Hamzah dalam Zhulumât Abî Rayyah Imâm Adhwâ’ ‘alâ as-Sunnah an-Nabawiyah; Abdurrahman ibn Yahya al-Yamani dalam al-Anwâr al-Kâsyifah limâ fi Kitab Adhwâ’ ‘alâ as-Sunnah min adh-Dhalâl wa at-Tadhlîl wa al-Mujâzafah; Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam Abû Hurairah Riwâyat al-Islâm. Kendati menyangkal jika pikirannya terpengaruh oleh orientalis, namun tidak bisa dimungkiri jika pemikirannya (Abu Rayyah) dan pemikiran orientalis tentang hadis memang sulit dibedakan. Dari sini, yang sulit dipercaya namun nyata kebenarannya adalah, bahwa di tengah hujan kritik yang membanjiri Abu Rayyah ini, Dr. Quraish Shihab justru mengadopsi pemikirannya begitu saja, tanpa beban apa pun.
[13] Lihat, Dr. Ali as-Salus, Ma’a asy-Syi’ah Itsna ‘Asyariyah fi al-Ushûl wa al-Furû, juz 2, hlm. 390.
(sigabah.com/syiahindonesia.com)
Syiahindonesia.com - Syiah dan Hadis (3)
Islam Ahlussunnah diskriminatif?
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa Syiah juga menggugat keilmuan hadis Ahlussunnah dengan klaim diskriminatif. Sebab kata mereka, Ahlussunnah tidak pernah meriwayatkan hadis-hadis dari sumber Syiah: “Bacalah Tafsir Mizan dari ath-Thabathabai sebagai contoh, dan Anda akan menemukan hadis-hadis Sunni yang banyak. Tetapi ambillah kitab tafsir yang ditulis oleh ulama Sunni mana pun, dan Anda tidak akan menemukan satu pun hadis Syiah dimuat di dalamnya. Jadi siapakah yang diskriminatif sebenarnya?” Demikian Emilia Renita AZ, “Istri Muda” Jalal “berkicau” dalam buku “Mengapa Kita Memilih Syiah?” Atau seperti pernyataan Dr. Quraish Shihab: “Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar hadis Ahlussunnah tidak meriwayatkan dari Imam-imam mereka. Imam Bukhari, misalnya, tidak meriwayatkan satu hadis pun dari Ja’far ash-Shadiq, Imam ke-6 Syiah Imamiyah, padahal hadis-hadisnya cukup banyak diriwayatkan oleh kelompok Syiah.”
Menjawab pernyataan Emilia Renita AZ, adalah harus dipahami bahwa titik tekannya bukan pada soal diskriminasi atau tidak. Sudah dimaklumi bersama, baik oleh Syiah maupun Ahlussunnah, bahwa ulama ahli hadis Ahlussunnah memiliki metode yang berbeda dengan ulama Syiah dalam menerima hadis. Ulama Ahlussunnah punya konsep dan metode yang jelas, sementara ulama Syiah tidak memilikinya. Berbeda dengan Ahlussunnah, Syiah berkeyakinan bahwa hadis-hadis yang bersumber dari para Imam adalah shahîh tanpa perlu kesinambungan riwayat (ittishâl) dengan Rasulullah saw.[1] Maka, tidaklah mungkin bagi ulama Ahlussunnah mencomot begitu saja hadis-hadis Syiah tanpa ada riwayat yang jelas atau ada namun dibuat-buat dan palsu. Sementara Syiah, adalah logis jika mereka banyak mengambil hadis-hadis Ahlussunnah, sebab hadis-hadis tersebut sangat tampak otentisitasnya, valid dan akurat dengan riwayat-riwayat yang jelas, sebagaimana hadis yang menjelaskan tentang kedudukan Sayyidina Ali Ra. di sisi Rasulullah saw. seperti kedudukan Nabi Harun As. Di sisi Nabi Musa As.[2]
Sementara asumsi dari Murtadha al-‘Askary yang dikutip oleh Dr. Quraish Shihab (Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar hadis Ahlussunnah tidak meriwayatkan dari imam-imam mereka), seperti asumsi-asumsinya yang lain, sebenarnya muncul dari prasangka belaka, tanpa didasari penelitian ilmiah apa pun. Seperti dinyatakan sebelumnya, bahwa tidak mungkin bagi ulama Ahlussunnah mengambil hadis-hadis Syiah. Namun demikian, ulama Ahlussunnah juga meriwayatkan hadis-hadis dari para Imam Syiah dan Ahlul Bait, di mana hadisnya terbukti tidak terkontaminasi oleh Syiah dan bukan hadis yang dibuat-buat oleh Syiah.
Alhasil, tidak sebagaimana praduga Murtadha al-‘Askary, dalam kitab-kitab hadis Ahlussunnah, riwayat-riwayat Ahlul Bait begitu melimpah. Lihatlah dalam Muwatha’ Imam Malik, pada hadis nomor 228, 464, 544, 652, 655, 713, 730, 731, 735, 766, 782, 946, 1020, dan 1210; Shahîh Muslim pada hadis nomor 1180, 1420, 1435, 2107, 2137, 2139, 2215, 2216, dan 3377; Dalam Sunan Abu Dâwud pada hadis nomor 1628, 1629, 1652, 3266, dan 3455; Pada Sunan at-Tirmidzî hadis nomor 477, 644, 743, 746, 784, 785, 790, 796, 797, 968, 1264, 1265, 1416, 1477, 1665, 2070, 2360, 2893, 3666, dan 3718; Dalam Sunan an-Nasâ’î pada hadis nomor 182, 214, 289, 389, 426, 540, 600, 649, 650, 1294, 1373, 1560, 1901, 2230, 2664, 2690, 2693, 2706, 2711, 2712, 2748, 2890, 2895, 2912, 2913, 2914, 2920, 2921, 2922, 2923, 2924, 2925, 2931, 2933, 2934, 2935, 2965, 2995, 3004, 3026, 3029, 4314 dan 4343; Dalam Sunan Ibnu Mâjah pada hadis nomor 44, 64, 484, 570, 998, 1108, 2229, 2360, 2400, 2407, 2904, 2910, 2942, 2951, 2957, 3065, 3119 dan 4300; Dan dalam Musnad Ahmad pada hadis nomor 543, 14012, 14021, 14044, 14133, 14637, 16280, 16331, 20209, 21856 dan 25294. Semua hadis-hadis tersebut merupakan riwayat dari Ja’far Shadiq bin Muhammad, Imam ke-6 Syiah. Sedangkan riwayat dari selain Ja’far ash-Shadiq Ra. masih lebih banyak dari yang telah kami cantumkan barusan.
Sekadar contoh, akan kami cantumkan beberapa riwayat saja dalam beberapa kitab Ahlussunnah yang sambung kepada Sayyidina Ali Ra, Imam pertama Syiah.
Dalam kitab Muwaththa’ dengan nomor hadis 994:
حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ.
“Yahya telah menceritakan kepada saya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Abdullah dan al-Hasan, keduanya putra Muhammad bin Ali, dari ayah keduanya, dari Ali bin Abu Thalib Ra. bahwa Rasulullah saw. telah melarang menikahi perempuan dengan nikah mut’ah di hari Khaibar, dan beliau juga telah melarang memakan daging-daging keledai piaraan.”
Dalam ShahÎh Muslim, pada hadis nomor 2511:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ جَمِيعًا عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنِ الْحَسَنِ وَعَبْدِ اللَّهِ ابْنَىْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِىٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِىٍّ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ.
Dalam Sunan at-Tirmidzî pada hadis nomor 1040:
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ.
Dalam Sunan an-Nasa’î pada hadis nomor 3313:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ وَالْحَارِثُ بْنُ مِسْكِينٍ قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ وَاللَّفْظُ لَهُ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ الْقَاسِمِ عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَىْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِىٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ.
Dalam Sunan Ibni Majah dengan nomor hadis 1951:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَىْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِىٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ.
Dalam Musnad Ahmad dengan nomor hadis 558:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنِ الْحَسَنِ وَعَبْدِ اللَّهِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا وَكَانَ حَسَنٌ أَرْضَاهُمَا فِي أَنْفُسِنَا أَنَّ عَلِيًّا قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ.
Islam Ahlussunnah diskriminatif?
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa Syiah juga menggugat keilmuan hadis Ahlussunnah dengan klaim diskriminatif. Sebab kata mereka, Ahlussunnah tidak pernah meriwayatkan hadis-hadis dari sumber Syiah: “Bacalah Tafsir Mizan dari ath-Thabathabai sebagai contoh, dan Anda akan menemukan hadis-hadis Sunni yang banyak. Tetapi ambillah kitab tafsir yang ditulis oleh ulama Sunni mana pun, dan Anda tidak akan menemukan satu pun hadis Syiah dimuat di dalamnya. Jadi siapakah yang diskriminatif sebenarnya?” Demikian Emilia Renita AZ, “Istri Muda” Jalal “berkicau” dalam buku “Mengapa Kita Memilih Syiah?” Atau seperti pernyataan Dr. Quraish Shihab: “Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar hadis Ahlussunnah tidak meriwayatkan dari Imam-imam mereka. Imam Bukhari, misalnya, tidak meriwayatkan satu hadis pun dari Ja’far ash-Shadiq, Imam ke-6 Syiah Imamiyah, padahal hadis-hadisnya cukup banyak diriwayatkan oleh kelompok Syiah.”
Menjawab pernyataan Emilia Renita AZ, adalah harus dipahami bahwa titik tekannya bukan pada soal diskriminasi atau tidak. Sudah dimaklumi bersama, baik oleh Syiah maupun Ahlussunnah, bahwa ulama ahli hadis Ahlussunnah memiliki metode yang berbeda dengan ulama Syiah dalam menerima hadis. Ulama Ahlussunnah punya konsep dan metode yang jelas, sementara ulama Syiah tidak memilikinya. Berbeda dengan Ahlussunnah, Syiah berkeyakinan bahwa hadis-hadis yang bersumber dari para Imam adalah shahîh tanpa perlu kesinambungan riwayat (ittishâl) dengan Rasulullah saw.[1] Maka, tidaklah mungkin bagi ulama Ahlussunnah mencomot begitu saja hadis-hadis Syiah tanpa ada riwayat yang jelas atau ada namun dibuat-buat dan palsu. Sementara Syiah, adalah logis jika mereka banyak mengambil hadis-hadis Ahlussunnah, sebab hadis-hadis tersebut sangat tampak otentisitasnya, valid dan akurat dengan riwayat-riwayat yang jelas, sebagaimana hadis yang menjelaskan tentang kedudukan Sayyidina Ali Ra. di sisi Rasulullah saw. seperti kedudukan Nabi Harun As. Di sisi Nabi Musa As.[2]
Sementara asumsi dari Murtadha al-‘Askary yang dikutip oleh Dr. Quraish Shihab (Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar hadis Ahlussunnah tidak meriwayatkan dari imam-imam mereka), seperti asumsi-asumsinya yang lain, sebenarnya muncul dari prasangka belaka, tanpa didasari penelitian ilmiah apa pun. Seperti dinyatakan sebelumnya, bahwa tidak mungkin bagi ulama Ahlussunnah mengambil hadis-hadis Syiah. Namun demikian, ulama Ahlussunnah juga meriwayatkan hadis-hadis dari para Imam Syiah dan Ahlul Bait, di mana hadisnya terbukti tidak terkontaminasi oleh Syiah dan bukan hadis yang dibuat-buat oleh Syiah.
Alhasil, tidak sebagaimana praduga Murtadha al-‘Askary, dalam kitab-kitab hadis Ahlussunnah, riwayat-riwayat Ahlul Bait begitu melimpah. Lihatlah dalam Muwatha’ Imam Malik, pada hadis nomor 228, 464, 544, 652, 655, 713, 730, 731, 735, 766, 782, 946, 1020, dan 1210; Shahîh Muslim pada hadis nomor 1180, 1420, 1435, 2107, 2137, 2139, 2215, 2216, dan 3377; Dalam Sunan Abu Dâwud pada hadis nomor 1628, 1629, 1652, 3266, dan 3455; Pada Sunan at-Tirmidzî hadis nomor 477, 644, 743, 746, 784, 785, 790, 796, 797, 968, 1264, 1265, 1416, 1477, 1665, 2070, 2360, 2893, 3666, dan 3718; Dalam Sunan an-Nasâ’î pada hadis nomor 182, 214, 289, 389, 426, 540, 600, 649, 650, 1294, 1373, 1560, 1901, 2230, 2664, 2690, 2693, 2706, 2711, 2712, 2748, 2890, 2895, 2912, 2913, 2914, 2920, 2921, 2922, 2923, 2924, 2925, 2931, 2933, 2934, 2935, 2965, 2995, 3004, 3026, 3029, 4314 dan 4343; Dalam Sunan Ibnu Mâjah pada hadis nomor 44, 64, 484, 570, 998, 1108, 2229, 2360, 2400, 2407, 2904, 2910, 2942, 2951, 2957, 3065, 3119 dan 4300; Dan dalam Musnad Ahmad pada hadis nomor 543, 14012, 14021, 14044, 14133, 14637, 16280, 16331, 20209, 21856 dan 25294. Semua hadis-hadis tersebut merupakan riwayat dari Ja’far Shadiq bin Muhammad, Imam ke-6 Syiah. Sedangkan riwayat dari selain Ja’far ash-Shadiq Ra. masih lebih banyak dari yang telah kami cantumkan barusan.
Sekadar contoh, akan kami cantumkan beberapa riwayat saja dalam beberapa kitab Ahlussunnah yang sambung kepada Sayyidina Ali Ra, Imam pertama Syiah.
Dalam kitab Muwaththa’ dengan nomor hadis 994:
حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ.
“Yahya telah menceritakan kepada saya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Abdullah dan al-Hasan, keduanya putra Muhammad bin Ali, dari ayah keduanya, dari Ali bin Abu Thalib Ra. bahwa Rasulullah saw. telah melarang menikahi perempuan dengan nikah mut’ah di hari Khaibar, dan beliau juga telah melarang memakan daging-daging keledai piaraan.”
Dalam ShahÎh Muslim, pada hadis nomor 2511:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ جَمِيعًا عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنِ الْحَسَنِ وَعَبْدِ اللَّهِ ابْنَىْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِىٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِىٍّ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ.
Dalam Sunan at-Tirmidzî pada hadis nomor 1040:
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ.
Dalam Sunan an-Nasa’î pada hadis nomor 3313:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ وَالْحَارِثُ بْنُ مِسْكِينٍ قِرَاءَةً عَلَيْهِ وَأَنَا أَسْمَعُ وَاللَّفْظُ لَهُ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ الْقَاسِمِ عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَىْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِىٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ.
Dalam Sunan Ibni Majah dengan nomor hadis 1951:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَىْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِىٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ.
Dalam Musnad Ahmad dengan nomor hadis 558:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنِ الْحَسَنِ وَعَبْدِ اللَّهِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا وَكَانَ حَسَنٌ أَرْضَاهُمَا فِي أَنْفُسِنَا أَنَّ عَلِيًّا قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ.
Dalam Mukhtashar Târîkh Dimasyqa, Ibnu Mandzur menulis satu riwayat dari Imam Ja’far ash-Shadiq, diklaim sebagai Imam ke-6 Syiah, sebagai berikut:
حَدَّثَ جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْلَةً أُسْرِيَ بِيْ رَأَيْتُ عَلَى الْعَرْشِ مَكْتُوْبًا لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ، أَبُوْ بَكْرٍ الصديقُ، عُمَرُ الفَارُوْقُ، عُثْمَانُ ذُو النُّورَيْنِ يُقْتَلُ مَظْلُوْمًا.
“Ja’far bin Muhammad telah menceritakan dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Pada malam saya diisrakan, saya melihat pada ‘Arsy tertulis Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasululullah, Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar al-Faruq, Usman Dzunurain, yang terbunuh secara zalim.” [3]
Sementara Imam Bukhari, memang harus diakui bahwa beliau tidak meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far bin Muhammad Ra.. Ada banyak alasan untuk langkah al-Bukhari ini, antara lain, sebagaimana yang telah dimaklumi, sebab seleksi Bukhari sangat ketat melebihi Imam Muslim dan yang lain. Namun demikian, Ahlussunnah, termasuk Imam Bukhari, tetap mengakui jika Ja’far bin Muhammad Ra. adalah perawi yang tsiqah.[4] Ahlussunnah juga mengakui akan keutamaan, ketinggian ilmu dan pemahaman agamanya. Hanya saja, Syiah mendustakan beliau dengan tumpukan hadis palsu yang diafiliasikan pada beliau, sehingga, karena ulah Syiah sendiri tampaknya Imam Bukhari menampik hadis yang diafiliasikan kepada Imam Ja’far. Sementara hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para rawi tsiqah dari beliau, maka Ahlussunnah men-shahîh–kan dan mengambilnya.[5]
Hal ini juga diakui oleh Ibnu Abi al-Hadid, di mana beliau dengan tegas menyatakan bahwa sumber kebohongan dalam hadis-hadis fadhâ’il adalah muncul dari Syiah. Mulanya mereka menciptakan hadis-hadis palsu mengenai keutamaan-keutamaan Imam-imam mereka. Kreasi ini, masih menurut Ibnu Abi al-Hadid, didorong oleh rasa permusuhan terhadap rival-rival mereka.[6] Berikut pernyataan Ibnu Abi al-Hadid:
إِنَّ أَصْلَ الأَكَاذِيبِ فِي أَحَادِيثِ الفَضَائِلِ كَانَ مِنْ جِهَةِ الشِيعَةِ، فَإِنَّهُمْ وَضَعُوا فِي مَبْدَإِ الأَمْرِ أَحَادِيثَ مُخْتَلِفَةً فِي صَاحِبِهِمْ، حَمَلَهُمْ عَلَى وَضْعِهَا عَدَاوَةُ خُصُومِهِمْ.
“Sesungguhnya pemalsuan hadis-hadis keutamaan berasal dari pihak Sy’ah. Pada mulanya, mereka menciptakan berbagai hadis yang beragama tentang para sahabat mereka. Faktor pendorong mereka memalsulkan hadis-hadis itu adalah rasa permusuhan dengan lawan-lawan mereka. [7]
Bukan hanya itu, Syiah juga melakukan pemalsuan-pemalsuan pendapat dan diafiliasikan kepada Sayyidina Ali Ra. Ibnu al-Qayyim mengatakan, bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra. merupakan sahabat Rasulullah saw. yang banyak mengeluarkan hadis-hadis, fatwa-fatwa dan hukum-hukum, hanya saja patut disayangkan, bahwa Syiah merusak kebanyakan ilmu-ilmu yang datang dari Sayyidina Ali Ra. dengan kebohongan-kebohongan yang diafiliasikan kepada beliau.[8]
Kendati tidak meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far bin Muhammad Ra., dengan alasan-alasan sebagaimana disebutkan barusan, namun Imam Bukhari meriwayatkan hadis-hadis dari Ahlul Bait yang lain, semisal riwayat yang sambung kepada Sayyidina Ali. Riwayat tersebut dapat ditemukan dalam Shahîh Bukhâri, misalnya dalam hadis nomor 247, 3894, 4723, 2132, 2486, 2904, 3897, 4032, 4511, 5096, 5098, 5099, 6098, 6446, dan 6577. Untuk lebih jelasnya, berikut kami kutip sebagian dari riwayat Bukhari tersebut:
3894- حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ.
“Yahya bin Qaza’ah telah menceritakan kepada saya. Malik telah menceritakan kepada kami, dari Ibnu Syihab, dari Abdullah dan al-Hasan, keduanya putra Muhammad bin Ali, dari ayah keduanya, dari Ali bin Abu Thalib Ra. bahwa Rasulullah saw. telah melarang menikahi perempuan dengan nikah mut’ah di hari Khaibar, dan beliau juga telah melarang memakan daging-daging keledai piaraan.”
4032- وَعَنْ عَمْرٍو عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ جِئْتُهُ فَقَالَ لِي أَبُو بَكْرٍ عُدَّهَا فَعَدَدْتُهَا فَوَجَدْتُهَا خَمْسَ مِائَةٍ فَقَالَ خُذْ مِثْلَهَا مَرَّتَيْنِ.
“Dan dari Amr, dari Muhammad bin Ali, Saya mendengar Jabir bin Abdullah berkata, ‘Aku mendatanginya, lalu Abu Bakar berkata, ‘Hitunglah.’ Maka aku pun menghitung, ternyata berjumlah 500. Lalu beliau berkata, ‘Ambilah yang senilai dengannya dua kali’.”
4723- حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ أَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِمَا أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ.
“Malik bin Ismail telah menceritakan kepada kami. Ibnu Uyainah telah menceritakan kepada kami, bahwa ia mendengar (Ibnu Syihab) Az-Zuhri berkata, ‘Al-Hasan bin Muhammad bin Ali dan saudaranya Abdullah bin Muhammad, dari ayah keduanya, bahwa Ali bin Abu Thalib Ra. Berkata kepada Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. telah melarang menikahi perempuan dengan nikah mut’ah di masa Khaibar.”
Selanjutnya, kenyataan bahwa al-Bukhari tidak meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far ash-Shadiq, dengan alasan-alasan di atas, tidak lantas dapat disimpulkan bahwa al-Bukhari benci kepada Imam Ja’far ash-Shadiq, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Syiah. Sebab, jika kesimpulan dari Syiah ini kita terima, maka kenyataan bahwa al-Bukhari tidak meriwayatkan dari Imam Syafi’i (Imam madzhab yang dianut al-Bukhari) dan Ahmad bin Hanbal (seorang pakar hadis yang agung) juga harus dipahami dengan kesimpulan yang sama, yakni al-Bukhari juga membenci asy-Syafii dan Ahmad bin Hanbal, padahal realitanya tidak demikian. Al-Bukhari juga tidak meriwayatkan Hadis dari Muhammad bin Ishaq, kendati beliau juga menilainya kredibel (tsiqah).[9] Maka dari itu, kesimpulan dari Syiah-lah yang harus kita sangsikan.
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] Lihat, Abdullah Fayyadh, Târîkh al-Imâmiyah, hlm. 140.
[2] Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahîh–nya, hadis No. 3430 dan 4064; Shahîh Muslim, hadis No. 4418, 4419, 4420, dan 4421; Sunan at-Tirmidzî, No. 3658, 3663, dan 3664; Sunan Ibn Majah, hadis No. 112 dan 118; Musnad Ahmad, hadis No. 1384, 1408, 1423, 1427, 1450, 1465, 1498, 1514, 1522, 2903, 10842, 14111, 25843, dan 26195. Hanya saja permasalahnnya, orang-orang Syiah memiliki pemahaman sendiri terhadap hadis yang mereka ambil dari Ahlussunnah tersebut.
[3] Lihat, Mukhtashar Târîkh Dimasyqa, juz 5 hlm. 178
[4] Lihat, Mîzân al-I’tidâl, juz 1 hlm. 414.
[5] Lihat,Tafsîr ath-Thabarî, juz 2 hlm. 36.
[6] Lihat , Syarh Nahj al-Balaghah, juz 3 hlm. 17, Dar ar-Rasyad al-Hadisah.
[7] Lihat, Syarh Nahj al-Balaghah, Juz 5, hal. 61-62.
[8] Lihat , A’lâm Muwaqqi’în, hlm. 31.
[9] Lihat , Ibnu Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyah (dalam Muqaddimah), hlm. Abjad (ج).
(sigabah.com/syiahindonesia.com)
Syiahindonesia.com - Syiah dan Hadis (Tamat)
Sunah atau hadis, mempunyai sejarah yang unik dan panjang. Ia pernah mengalami masa transisi dari tradisi lisan ke tradisi tulisan. Pengkompilasiannya pun membutuhkan waktu yang cukup panjang. Sampai pada akhir abad ke-9 M, usaha pengkodifikasian tersebut dapat menghasilkan beberapa koleksi besar (kitab hadis) yang dianggap otentik, di samping sejumlah besar koleksi hadis lainnya.
Seleksi dan pengeditan koleksi kitab hadis tersebut, menimbulkan kontroversi berkepanjangan di antara tiga golongan besar; Sunni (Islam), Syi’i (Syi’ah), dan Khariji (Khawarij).
Perbedaan aqidah dalam tiga golongan itu berdampak atau bahkan merupakan sumber utama pada perbedaan sunah atau hadis yang diakui oleh masing-masing golongan. Perbedaan Syi’ah dengan Islam yang paling mendasar berangkat dari penilaian terhadap para imam Ahlu Bait di satu pihak dan para sahabat Nabi Saw. di pihak yang lain. Misalnya, Syi’ah menolak periwayatan para sahabat yang setuju terhadap kekhilafahan Abu Bakar, Umar dan Usman. Dalam keyakinan Syi’ah, mereka pelaku dosa-dosa besar karena telah berbuat murtad.[1] Syi’ah menolak periwayatan para sahabat yang—dipandang oleh mereka—memusuhi Ali, seperti Thalhah, Abdullah bin az-Zubair, Mu’awiyah, Abdullah bin Wahab.[2] Sementara terhadap para imam Ahlu Bait, Syi’ah meyakini para imam itu ma’shum (terpelihara dari dosa dan kesalahan).
Keyakinan ini juga digunakan sebagai kriteria kualitas riwayat, baik dari segi sanad maupun integritas pribadi periwayat. Karena itu, Syi’ah hanya mengakui hadis-hadis riwayat kelompok Syi’ah saja.
Perbedaan konsepsi secara metodologis tentang hadis dan Sunah antara umat Islam dan Syi’ah bergulir pada wilayah kajian epistemologi. [3] Perbedaan konsep epistemologi hadis antara umat Islam dan Syi’ah pada gilirannya berimplikasi terhadap kualitas hadis.
Sebelum mengakhiri kajian pada sub bagian ini, adalah penting kiranya untuk dikemukakan di sini, bahwa sebetulnya perhatian Syiah terhadap hadis dan kaidah-kaidahnya hingga pembagian pada shahîh, hasan, dha’if dan yang lain, sebenarnya baru muncul pada kurun ketujuh atau kedelapan hijriyah, kendati kajian mengenai keadaan para perawi (rijâl al-hadîts) menurut mereka (Syiah) telah dimulai pada abad keempat hijriah.
Pada saat itu, kritik terhadap Syiah, utamanya mengenai hadis-hadis mereka yang anti-metodologi, demikin deras datang dari ulama Ahlussunnah. Beliau-beliau seringkali memperolok-olok Syiah akan ketidak-mampuan mereka dalam memahami ilmu tentang keadaan para perawi (‘ilm ar-rîjâl), istilah-istilah hadis (musthalah al-Hadîts) dan hal-hal yang terkait. Akibatnya, hadis-hadis mereka tidak memiliki taring untuk dijadikan sebagai argumentasi.
Lantaran kritik-kritik tajam itulah, mereka kemudian membuat beragam istilah dan klasifikasi hadis menjadi empat macam: Shahih,[4] Muwatsaq, [5] Hasan, [6] dan dha’if. Keempat macam hadis itu diistilahkan dengan Ushul al-Hadits.[7]
Klasifikasi hadis menjadi empat macam di atas dipelopori oleh Sayyid Jamaludin Ahmad bin Thawus (w. 674 H) dan dikembangkan oleh muridnya, ‘Alamah al-Hasan bin al-Muthahir al-Hilli (w. 726 H.). [8] Selanjutnya, pada masa Syekh Zainuddin bin Ali bin Ahmad al-‘Amili (w. 965 H) atau yang lebih populer dengan sebutan Syahid Tsani, dan Syekh Muhammad bin al-Husen bin Abdus Shamad, atau yang lebih populer dengan sebutan Baha’uddin al-‘Amili ( w. 1031 H) klasifikasi itu berkembang menjadi lima macam dengan memisahkan hadis qawwi[9] sebagai martabat terpisah. [10]
Fakta sejarah di atas telah dikemukakan oleh para ulama Syi’ah, antara lain sebagai berikut:
Putra Syahid Tsani, Al-Hasan bin Zainuddin al-‘Amili (w. 1011 H) menjelaskan:
وَلاَ يَكَادُ يُعْلَمُ وُجُوْدُ هذَا الإِصْطِلاَحِ قَبْلَ زَمَانِ الْعَلاَّمَةِ إِلاَّ مِنَ السَيِّدِ جَمَالِ الدِّيْنِ ابْنِ طَاوُوْسٍ ( رَحِمَهُ اللهُ ) وَإِذَا أُطْلِقَتِ الصِّحَّةُ فِي كَلاَمِ مَنْ تَقَدَّمَ فَمُرَادُهُمْ مِنْهَا الثُّبُوْتُ أَوِ الصِّدْقُ
“Adanya peristilahan ini hampir tidak diketahui sebelum zaman Alamah al-Hilli kecuali dari Sayyid Jamaludin Ibn Thawus. Dan apabila disebutkan kata shahih dalam perkataan ulama mutaqaddimin maka maksud mereka ats-tsubut atau ash-shidq.” [11]
Muhammad Taqiy bin Maqshud ‘Ali al-Majlisi (w. 1070 H) berkata:
وَأَوَّلُ مَنْ سَلَكَ هذَا الطَّرِيْقَ مِنْ عُلَمَائِنَا الْمُتَأَخِّرِيْنَ شَيْخُنَا الْعَلاَمَةُ جَمَالُ الْحَقِّ وَالدِّيْنِ حَسَنُ بْنُ مُطَهِّرٍ الْحِلِّي ( قَدَّسَ اللهُ رُوْحَهُ ) ثُمَّ إِنَّهُمْ ( أَعْلَى اللهُ مَقَامَهُمْ ) رُبَّمَا يَسْلُكُوْنَ طَرِيْقَةَ الْقُدَمَاءِ فِيْ بَعْضِ الأَحْيَانِ
“Dan orang pertama, di ulama kita yang terakhir, yang menggunakan metode ini adalah syekh Alamah Jamalul haq wadin Hasan bin Muthahir al-Hilli —semoga Allah mensucikan ruhnya—, kemudian mereka—semoga Allah meninggikan derajat mereka—terkadang menggunakan pula metode ulama mutaqaddimin pada kesempatan yang lain.” [12]
Syekh Al-Hurr al-‘Amili ( w. 1104 w.) berkata:
أَنَّ هذَا الإِصْطَلاَحَ مُسْتَحْدَثٌ فِيْ زَمَانِ الْعَلاَمَةِ أَوْ شَيْخِهِ أَحْمَدَ ابْنِ طَاوُوْسٍ كَمَا هُوَ مَعْلُوْمٌ وَهُمْ مُعْتَرِفُوْنَ بِهِ وَهُوَ إِجْتِهَادٌ وَظَنٌّ مِنْهُمَا
“Istilah ini diciptakan pada zaman Alamah (al-Hilli) atau gurunya Ahmad Ibn Thawus sebagaimana telah dimaklumi, dan mereka mengakuinya, dan istilah baru itu merupakan ijtihad dan zhan (sangkaan) dari mereka berdua.” [13]
Syekh Yusuf al-Bahrani (w. 1181 H) berkata:
قَدْ صَرَّحَ جُمْلَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا الْمُتَأَخِّرِيْنَ بِأَنَّ الأَصْلَ فِيْ تَنْوِيْعِ الْحَدِيْثِ إِلَى الأَنْوَاعِ الأَرْبَعَةِ الْمَشْهُوْرَةِ هو الْعَلاَمَةُ أَوْ شَيْخُهُ جَمَالُ الدِّيْنِ بْنِ طَاوُوْسٍ نَوَّرَ اللهُ تَعَالَى مَرْقَدَيْهِمَا. وَأَمَّا الْمُتَقَدِّمُوْنَ فَالصَّحِيْحُ عِنْدَهُمْ هُوَ مَا اعْتُضِدَ بِمَا يُوْجِبُ الإِعْتِمَادَ عَلَيْهِ مِنَ الْقَرَائِنِ وَالأَمَارَاتِ الَّتِيْ ذَكَرَهَا الشَّيْخُ ( قَدَّسَ سِرَّهُ ) فِيْ كِتَابِ الْعُدَّةِ. وَعَلَى هذَا جَرَى جُمْلَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا الْمُحَدِّثِيْنَ وَطَائِفَةٌ مِنْ مُتَأَخِّرِيْ مُتَأَخِّرِيْ الْمُجْتَهِدِيْنَ كَشَيْخِنَا الْمَجْلِسِيِّ رَحِمَهُ اللهُ وَجَمْعٌ مِمَّنْ تَأَخَّرَ عَنْهُ
“Sejumlah ulama mutaakhir sahabat kami telah menjelaskan bahwa sumber diversifikasi hadis menjadi 4 macam yang terkenal adalah ‘Alamah atau gurunya Jamaluddin bin Thawus, semoga Allah menerangi tempat istirahat mereka. Adapun kriteria shahih menurut ulama mutaqaddimin ialah hadis yang dibantu oleh berbagai qarinah dan tanda yang mengharuskan hadis itu dijadikan pegangan, yang telah diterangkan oleh Syekh (ath-Thusi) dalam kitab al-‘Uddah. Kriteria ini dipergunakan oleh sejumlah ulama mutaakhir sahabat kami dan sekelompok mujtahid masa terakhir, seperti guru kita al-Majlisi—semoga Allah merahmatinya—dan sekelompok orang setelahnya.” [14]
Syekh Muhsin al-Amin al-‘Amili (w. 1371 H) berkata:
وَمِنْ عُلَمَاءِ الشِّيْعَةِ فِيْهِ السَّيِّدُ جَمَالُ الدِّيْنِ أَحْمَدُ بْنُ مُوْسَى بْنِ جَعْفَرِ بْنِ طَاوُوْسٍ الْحَسَنِيْ قَالَ تِلْمِيْذُهُ الْحَسَنُ بْنُ دَاوُدَ الْحِلِّي فِيْ رِجَالِهِ : حَقَّقَ الرِّجَالَ وَالرِّوَايَةَ وَالتَّفْسِيْرَ تَحْقِيْقًا لاَ مَزِيْدَ عَلَيْهِ اه وَهُوَ وَاضِعُ الإِصْطِلاَحِ الْجَدِيْدِ فِيْ تَقْسِيْمِ الْحَدِيْثِ عِنْدَ الإِمَامِيَّةِ إِلَى أَقْسَامِهِ الأَرْبَعَةِ الصَّحِيْحِ وَالْحَسَنِ وَالْمُوَثَّقِ وَالضَّعِيْفِ
“Dan di antara ulama Syi’ah padanya (bidang ilmu musthalah hadis) Sayyid Jamaludin Ahmad bin Musa bin Ja’far bin Thawus al-Hasani. Muridnya yang bernama al-Hasan bin Dawud al-Hilli berkata dalam kitab rijalnya, ‘Beliau telah mentahqiq para rawi, riwayat dan tafsir yang tiada duanya.’ Di kalangan Syi’ah Imamiyah, beliau pembuat istilah baru dalam klasifikasi hadis menjadi shahih, hasan, muwatsaq, dan dha’if.” [15]
Standarisasi klasifikasi ini mengacu kepada keragaman hal-ihwal para penyampai khabar (rawi). Hal itu, dijelaskan Al-Hasan bin Zainuddin al-‘Amili (w. 1011 H):
أَنَّ مَدَارَ تَقْسِيْمِ الْحَدِيْثِ إِلَى الأَقْسَامِ الأَرْبَعَةِ عَلَى رِعَايَةِ حَالِ الرُّوَاةِ وَصِفَاتِهِمْ الَّتِيْ لَهَا مَدْخَلُ مَا فِيْ قَبُوْلِ الرِّوَايَةِ وَعَدَمِهِ، وَأَنَّ مَنَاطَ وَصْفِ الصِّحَّةِ هُوَ إِجْتِمَاعُ وَصْفَيْ الْعَدَالَةِ وَالضَّبْطِ فِيْ جَمِيْعِ رُوَاةِ الْحَدِيْثِ مَعَ اتِّصَالِ رِوَايَتِهِمْ لَهُ بِالْمَعْصُوْمِ
“Sesungguhnya, klasifikasi hadis menjadi empat itu bertumpu pada perhatian keadaan dan sifat para rawi yang menjadi pintu masuk diterima dan tidaknya periwayatan. Dan yang menjadi acuan sifat keshahihan itu adalah terpenuhinya dua sifat: ‘adalah dan dhabth pada semua rawi hadis di samping bersambungnya mereka dengan Imam yang ma’shum.” [16]
Dalam redaksi lain, beliau berkata:
إِصْطَلَحَ الْمُتَأَخِّرُوْنَ مِنْ أَصْحَابِنَا عَلَى تَقْسِيْمِ الْخَبَرِ بِاعْتِبَارِ إخْتِلاَفِ أَحْوَالِ رُوَاتِهِ إِلَى الأَقْسَامِ الأَرْبَعَةِ الْمَشْهُوْرَةِ
“Para ulama mutaakhir, sahabat kita, menetapkan istilah klasifikasi khabar menjadi empat yang populer itu berdasarkan pertimbangan keragaman hal-ihwal para rawi (penyampai khabar)” [17]
Meskipun demikian, untuk mengakomodir kebutuhan ini para ulama Syi’ah mutaakhir tidak memiliki kriteria mandiri, sehingga mereka menjiplak teori klasifikasi hadis itu dari ilmu hadis karya ulama Islam. Sementara kriterianya dimodifikasi sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Demikian itu diakui oleh ulama Syi’ah, antara lain Syekh Al-Hurr al-‘Amili ( w. 1104 w.) berkata:
الإِصْطِلاَحُ الْجَدِيْدُ (تَقْسِيْمُ الْحَدِيْثِ) مُوَافِقٌ لِاعْتِقَادِ الْعَامَّةِ (أَهْلُ السُّنَّةِ) وَاصْطِلاَحِهِمْ، بَلْ هُوَ مَأْخُوْذٌ مِنْ كُتُبِهِمْ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ بِالتَّتَبُّعِ وَكَمَا يُفْهَمُ مِنْ كَلاَمِ الشَّيْخِ حَسَنٍ وَغَيْرِهِ وَقَدْ أَمَرَنَا الأَئِمَّةُ (ع) بِاجْتِنَابِ طَرِيْقَةِ الْعَامَّةِ وَقَدْ تَقَدَّمَ مَا يَدُلُّ عَلَى ذلِكَ فِيْ الْقَضَاءِ فِيْ أَحَادِيْثِ تَرْجِيْحِ الْحَدِيْثَيْنِ الْمُخْتَلِفَيْنِ وَغَيْرِهَا.
“Istilah baru itu (klasifikasi hadis) sesuai dengan keyakinan ‘Awam (Ahlus-Sunah) dan istilah-istilah mereka, bahkan hal itu diambil dari kitab-kitab mereka sebagaimana hal itu tampak jelas dengan penelusuran dan seperti yang dapat difahami dari ucapan Syekh Hasan dan lainnya. Para Imam telah memerintahkan kita menjauhi cara kaum ‘Awam. Telah disebutkan terdahulu bukti yang menunjukkan hal itu dalam kitab (topik) al-Qadha pada hadis-hadis tentang mentarjih dua hadis yang bertentangan dan lainnya. [18]
Keterangan di atas menunjukkan bahwa klasifikasi baru yang digagas oleh Ibn Thawus dan dikembangkan oleh Alamah al-Hilli bukanlah karya orisinal mereka berdua melainkan hasil modifikasi teori ilmu hadis ulama Islam. [19]
Karena itu, penggunaan klasifikasi baru tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan ulama Syi’ah pasca generasi mutaakhir. Penolakan datang antara lain dari Syekh al-Hasan bin Zainuddin al-‘Amili[20] (w. 1011 H), Syekh Muhammad Amin al-Astarabadi[21] (w. 1036 H), Syekh al-Faidh al-Kasyani[22] (w. 1091 H), Syekh al-Hurr al-‘Amili[23] ( w. 1104 w.), Syekh Yusuf al-Bahrani[24] (w. 1181 H). Sementara pembelaan sekaligus bantahan datang antara lain dari Sayyid Hasan ash-Shadr[25] dan I’dad Abu al-Fadhl Hafizhuyani al-Babuli. [26]
Mengenai faktor yang mendorong Syiah membuat kaidah-kaidah dan pembagian-pembagian hadis sebagaimana di sebutkan di atas, Syekh Syiah terkemuka, al-Hur al-Amili, mengakui dan menjelaskan, bahwa sebab-sebab dari perletakan istilah shahîh, hasan, dha’if dan lain sebagainya, dalam hadis-hadis Syiah dan perhatian Syiah pada sanad serta kritik hadis adalah karena mereka berkepentingan untuk menghadapi Ahlussunnah. Lebih jelas, Hur al-Amili berkata sebagai berikut:
Adapun faidah dari penyebutan sanad-sanad hadis adalah guna menangkis cemooh orang kebanyakan (maksudnya Ahlussunnah) terhadap Syiah, dengan kecaman bahwa hadis-hadis Syiah tidak memiliki jalur periwayatan yang jelas dan runtun, akan tetapi hanya mencuplik dari buku-buku para pendahulu mereka.[27]
Fakta ini menjadi bukti yang sangat jelas dan valid, bahwa perhatian Syiah terhadap ilmu dan metodologi hadis memang tumbuh jauh terlambat dari Ahlussunnah. Lebih dari itu, motivatornya bukan untuk menyeleksi ke-shahîh–an hadis, sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlussunnah, namun justru dimaksudkan untuk menampakkan kesahihan hadis mereka, kendati itu palsu.
Kendati demikian, metodologi hadis yang ditetapkan oleh Syiah, andai saja diterapkan untuk menyeleksi hadis-hadis mereka sendiri, maka hadis-hadis itu akan tinggal sekelumit saja. Hal ini rupanya telah disadari dan diakui sendiri oleh pemuka Syiah, Syekh Yusuf al-Bahrani (w. 1186). Ia menyatakan sebagai berikut:
Pilihan yang mesti kita (Syiah) ambil adalah mengambil hadis-hadis (Syiah) ini, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita, atau membuat aliran baru yang bukan aliran (Syiah) ini, dan membuat syariat baru yang bukan syariat (Syiah) ini, akibat kekurangan dan ketidak sempurnannya. Sebab telah jelas jika memang tidak ada dalil yang kuat bagi sejumlah besar hukum-hukumnya….[28]
Dengan demikian, statemen Syiah yang menyatakan bahwa hadis-hadis dihimpun melalui transmisi dan periwayatan yang sambung-beruntun serta dapat dipertanggung-jawabkan (sebagaimana yang telah dikutip di atas, pada pembahasan al-Kutub al-Arba’ah), adalah tidak tepat. Selain terbantah oleh kenyataan sejarah dan data-data terpercaya, statemen itu juga dimentahkan oleh pengakuan dari tokoh-tokoh Syiah sendiri, sebagaimana pernyataan Ibnu Abi al-Hadid di atas.
Lebih dari itu, dalam pandangan ulama al-Jarh wa at-Ta’dîl (ilmu evaluasi positif dan negatif periwayat hadis), Syiah merupakan kelompok yang paling banyak melakukan kebohongan-kebohongan (akdzab at-thawâ’if) di bidang hadis.[29] Akibatnya, selain banyak yang palsu, hadis-hadis Syiah juga banyak yang bertentangan antara yang satu dengan yang lain, selain juga jelas bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis-hadis shahîh.
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku:
Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
Hitam dibalik Putih: Bantahan Terhadap Buku Putih Madzhab Syi’ah, karya Amin Muchtar, terbitan al-Qalam, cetakan kedua, Desember 2014
Sunah atau hadis, mempunyai sejarah yang unik dan panjang. Ia pernah mengalami masa transisi dari tradisi lisan ke tradisi tulisan. Pengkompilasiannya pun membutuhkan waktu yang cukup panjang. Sampai pada akhir abad ke-9 M, usaha pengkodifikasian tersebut dapat menghasilkan beberapa koleksi besar (kitab hadis) yang dianggap otentik, di samping sejumlah besar koleksi hadis lainnya.
Seleksi dan pengeditan koleksi kitab hadis tersebut, menimbulkan kontroversi berkepanjangan di antara tiga golongan besar; Sunni (Islam), Syi’i (Syi’ah), dan Khariji (Khawarij).
Perbedaan aqidah dalam tiga golongan itu berdampak atau bahkan merupakan sumber utama pada perbedaan sunah atau hadis yang diakui oleh masing-masing golongan. Perbedaan Syi’ah dengan Islam yang paling mendasar berangkat dari penilaian terhadap para imam Ahlu Bait di satu pihak dan para sahabat Nabi Saw. di pihak yang lain. Misalnya, Syi’ah menolak periwayatan para sahabat yang setuju terhadap kekhilafahan Abu Bakar, Umar dan Usman. Dalam keyakinan Syi’ah, mereka pelaku dosa-dosa besar karena telah berbuat murtad.[1] Syi’ah menolak periwayatan para sahabat yang—dipandang oleh mereka—memusuhi Ali, seperti Thalhah, Abdullah bin az-Zubair, Mu’awiyah, Abdullah bin Wahab.[2] Sementara terhadap para imam Ahlu Bait, Syi’ah meyakini para imam itu ma’shum (terpelihara dari dosa dan kesalahan).
Keyakinan ini juga digunakan sebagai kriteria kualitas riwayat, baik dari segi sanad maupun integritas pribadi periwayat. Karena itu, Syi’ah hanya mengakui hadis-hadis riwayat kelompok Syi’ah saja.
Perbedaan konsepsi secara metodologis tentang hadis dan Sunah antara umat Islam dan Syi’ah bergulir pada wilayah kajian epistemologi. [3] Perbedaan konsep epistemologi hadis antara umat Islam dan Syi’ah pada gilirannya berimplikasi terhadap kualitas hadis.
Sebelum mengakhiri kajian pada sub bagian ini, adalah penting kiranya untuk dikemukakan di sini, bahwa sebetulnya perhatian Syiah terhadap hadis dan kaidah-kaidahnya hingga pembagian pada shahîh, hasan, dha’if dan yang lain, sebenarnya baru muncul pada kurun ketujuh atau kedelapan hijriyah, kendati kajian mengenai keadaan para perawi (rijâl al-hadîts) menurut mereka (Syiah) telah dimulai pada abad keempat hijriah.
Pada saat itu, kritik terhadap Syiah, utamanya mengenai hadis-hadis mereka yang anti-metodologi, demikin deras datang dari ulama Ahlussunnah. Beliau-beliau seringkali memperolok-olok Syiah akan ketidak-mampuan mereka dalam memahami ilmu tentang keadaan para perawi (‘ilm ar-rîjâl), istilah-istilah hadis (musthalah al-Hadîts) dan hal-hal yang terkait. Akibatnya, hadis-hadis mereka tidak memiliki taring untuk dijadikan sebagai argumentasi.
Lantaran kritik-kritik tajam itulah, mereka kemudian membuat beragam istilah dan klasifikasi hadis menjadi empat macam: Shahih,[4] Muwatsaq, [5] Hasan, [6] dan dha’if. Keempat macam hadis itu diistilahkan dengan Ushul al-Hadits.[7]
Klasifikasi hadis menjadi empat macam di atas dipelopori oleh Sayyid Jamaludin Ahmad bin Thawus (w. 674 H) dan dikembangkan oleh muridnya, ‘Alamah al-Hasan bin al-Muthahir al-Hilli (w. 726 H.). [8] Selanjutnya, pada masa Syekh Zainuddin bin Ali bin Ahmad al-‘Amili (w. 965 H) atau yang lebih populer dengan sebutan Syahid Tsani, dan Syekh Muhammad bin al-Husen bin Abdus Shamad, atau yang lebih populer dengan sebutan Baha’uddin al-‘Amili ( w. 1031 H) klasifikasi itu berkembang menjadi lima macam dengan memisahkan hadis qawwi[9] sebagai martabat terpisah. [10]
Fakta sejarah di atas telah dikemukakan oleh para ulama Syi’ah, antara lain sebagai berikut:
Putra Syahid Tsani, Al-Hasan bin Zainuddin al-‘Amili (w. 1011 H) menjelaskan:
وَلاَ يَكَادُ يُعْلَمُ وُجُوْدُ هذَا الإِصْطِلاَحِ قَبْلَ زَمَانِ الْعَلاَّمَةِ إِلاَّ مِنَ السَيِّدِ جَمَالِ الدِّيْنِ ابْنِ طَاوُوْسٍ ( رَحِمَهُ اللهُ ) وَإِذَا أُطْلِقَتِ الصِّحَّةُ فِي كَلاَمِ مَنْ تَقَدَّمَ فَمُرَادُهُمْ مِنْهَا الثُّبُوْتُ أَوِ الصِّدْقُ
“Adanya peristilahan ini hampir tidak diketahui sebelum zaman Alamah al-Hilli kecuali dari Sayyid Jamaludin Ibn Thawus. Dan apabila disebutkan kata shahih dalam perkataan ulama mutaqaddimin maka maksud mereka ats-tsubut atau ash-shidq.” [11]
Muhammad Taqiy bin Maqshud ‘Ali al-Majlisi (w. 1070 H) berkata:
وَأَوَّلُ مَنْ سَلَكَ هذَا الطَّرِيْقَ مِنْ عُلَمَائِنَا الْمُتَأَخِّرِيْنَ شَيْخُنَا الْعَلاَمَةُ جَمَالُ الْحَقِّ وَالدِّيْنِ حَسَنُ بْنُ مُطَهِّرٍ الْحِلِّي ( قَدَّسَ اللهُ رُوْحَهُ ) ثُمَّ إِنَّهُمْ ( أَعْلَى اللهُ مَقَامَهُمْ ) رُبَّمَا يَسْلُكُوْنَ طَرِيْقَةَ الْقُدَمَاءِ فِيْ بَعْضِ الأَحْيَانِ
“Dan orang pertama, di ulama kita yang terakhir, yang menggunakan metode ini adalah syekh Alamah Jamalul haq wadin Hasan bin Muthahir al-Hilli —semoga Allah mensucikan ruhnya—, kemudian mereka—semoga Allah meninggikan derajat mereka—terkadang menggunakan pula metode ulama mutaqaddimin pada kesempatan yang lain.” [12]
Syekh Al-Hurr al-‘Amili ( w. 1104 w.) berkata:
أَنَّ هذَا الإِصْطَلاَحَ مُسْتَحْدَثٌ فِيْ زَمَانِ الْعَلاَمَةِ أَوْ شَيْخِهِ أَحْمَدَ ابْنِ طَاوُوْسٍ كَمَا هُوَ مَعْلُوْمٌ وَهُمْ مُعْتَرِفُوْنَ بِهِ وَهُوَ إِجْتِهَادٌ وَظَنٌّ مِنْهُمَا
“Istilah ini diciptakan pada zaman Alamah (al-Hilli) atau gurunya Ahmad Ibn Thawus sebagaimana telah dimaklumi, dan mereka mengakuinya, dan istilah baru itu merupakan ijtihad dan zhan (sangkaan) dari mereka berdua.” [13]
Syekh Yusuf al-Bahrani (w. 1181 H) berkata:
قَدْ صَرَّحَ جُمْلَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا الْمُتَأَخِّرِيْنَ بِأَنَّ الأَصْلَ فِيْ تَنْوِيْعِ الْحَدِيْثِ إِلَى الأَنْوَاعِ الأَرْبَعَةِ الْمَشْهُوْرَةِ هو الْعَلاَمَةُ أَوْ شَيْخُهُ جَمَالُ الدِّيْنِ بْنِ طَاوُوْسٍ نَوَّرَ اللهُ تَعَالَى مَرْقَدَيْهِمَا. وَأَمَّا الْمُتَقَدِّمُوْنَ فَالصَّحِيْحُ عِنْدَهُمْ هُوَ مَا اعْتُضِدَ بِمَا يُوْجِبُ الإِعْتِمَادَ عَلَيْهِ مِنَ الْقَرَائِنِ وَالأَمَارَاتِ الَّتِيْ ذَكَرَهَا الشَّيْخُ ( قَدَّسَ سِرَّهُ ) فِيْ كِتَابِ الْعُدَّةِ. وَعَلَى هذَا جَرَى جُمْلَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا الْمُحَدِّثِيْنَ وَطَائِفَةٌ مِنْ مُتَأَخِّرِيْ مُتَأَخِّرِيْ الْمُجْتَهِدِيْنَ كَشَيْخِنَا الْمَجْلِسِيِّ رَحِمَهُ اللهُ وَجَمْعٌ مِمَّنْ تَأَخَّرَ عَنْهُ
“Sejumlah ulama mutaakhir sahabat kami telah menjelaskan bahwa sumber diversifikasi hadis menjadi 4 macam yang terkenal adalah ‘Alamah atau gurunya Jamaluddin bin Thawus, semoga Allah menerangi tempat istirahat mereka. Adapun kriteria shahih menurut ulama mutaqaddimin ialah hadis yang dibantu oleh berbagai qarinah dan tanda yang mengharuskan hadis itu dijadikan pegangan, yang telah diterangkan oleh Syekh (ath-Thusi) dalam kitab al-‘Uddah. Kriteria ini dipergunakan oleh sejumlah ulama mutaakhir sahabat kami dan sekelompok mujtahid masa terakhir, seperti guru kita al-Majlisi—semoga Allah merahmatinya—dan sekelompok orang setelahnya.” [14]
Syekh Muhsin al-Amin al-‘Amili (w. 1371 H) berkata:
وَمِنْ عُلَمَاءِ الشِّيْعَةِ فِيْهِ السَّيِّدُ جَمَالُ الدِّيْنِ أَحْمَدُ بْنُ مُوْسَى بْنِ جَعْفَرِ بْنِ طَاوُوْسٍ الْحَسَنِيْ قَالَ تِلْمِيْذُهُ الْحَسَنُ بْنُ دَاوُدَ الْحِلِّي فِيْ رِجَالِهِ : حَقَّقَ الرِّجَالَ وَالرِّوَايَةَ وَالتَّفْسِيْرَ تَحْقِيْقًا لاَ مَزِيْدَ عَلَيْهِ اه وَهُوَ وَاضِعُ الإِصْطِلاَحِ الْجَدِيْدِ فِيْ تَقْسِيْمِ الْحَدِيْثِ عِنْدَ الإِمَامِيَّةِ إِلَى أَقْسَامِهِ الأَرْبَعَةِ الصَّحِيْحِ وَالْحَسَنِ وَالْمُوَثَّقِ وَالضَّعِيْفِ
“Dan di antara ulama Syi’ah padanya (bidang ilmu musthalah hadis) Sayyid Jamaludin Ahmad bin Musa bin Ja’far bin Thawus al-Hasani. Muridnya yang bernama al-Hasan bin Dawud al-Hilli berkata dalam kitab rijalnya, ‘Beliau telah mentahqiq para rawi, riwayat dan tafsir yang tiada duanya.’ Di kalangan Syi’ah Imamiyah, beliau pembuat istilah baru dalam klasifikasi hadis menjadi shahih, hasan, muwatsaq, dan dha’if.” [15]
Standarisasi klasifikasi ini mengacu kepada keragaman hal-ihwal para penyampai khabar (rawi). Hal itu, dijelaskan Al-Hasan bin Zainuddin al-‘Amili (w. 1011 H):
أَنَّ مَدَارَ تَقْسِيْمِ الْحَدِيْثِ إِلَى الأَقْسَامِ الأَرْبَعَةِ عَلَى رِعَايَةِ حَالِ الرُّوَاةِ وَصِفَاتِهِمْ الَّتِيْ لَهَا مَدْخَلُ مَا فِيْ قَبُوْلِ الرِّوَايَةِ وَعَدَمِهِ، وَأَنَّ مَنَاطَ وَصْفِ الصِّحَّةِ هُوَ إِجْتِمَاعُ وَصْفَيْ الْعَدَالَةِ وَالضَّبْطِ فِيْ جَمِيْعِ رُوَاةِ الْحَدِيْثِ مَعَ اتِّصَالِ رِوَايَتِهِمْ لَهُ بِالْمَعْصُوْمِ
“Sesungguhnya, klasifikasi hadis menjadi empat itu bertumpu pada perhatian keadaan dan sifat para rawi yang menjadi pintu masuk diterima dan tidaknya periwayatan. Dan yang menjadi acuan sifat keshahihan itu adalah terpenuhinya dua sifat: ‘adalah dan dhabth pada semua rawi hadis di samping bersambungnya mereka dengan Imam yang ma’shum.” [16]
Dalam redaksi lain, beliau berkata:
إِصْطَلَحَ الْمُتَأَخِّرُوْنَ مِنْ أَصْحَابِنَا عَلَى تَقْسِيْمِ الْخَبَرِ بِاعْتِبَارِ إخْتِلاَفِ أَحْوَالِ رُوَاتِهِ إِلَى الأَقْسَامِ الأَرْبَعَةِ الْمَشْهُوْرَةِ
“Para ulama mutaakhir, sahabat kita, menetapkan istilah klasifikasi khabar menjadi empat yang populer itu berdasarkan pertimbangan keragaman hal-ihwal para rawi (penyampai khabar)” [17]
Meskipun demikian, untuk mengakomodir kebutuhan ini para ulama Syi’ah mutaakhir tidak memiliki kriteria mandiri, sehingga mereka menjiplak teori klasifikasi hadis itu dari ilmu hadis karya ulama Islam. Sementara kriterianya dimodifikasi sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Demikian itu diakui oleh ulama Syi’ah, antara lain Syekh Al-Hurr al-‘Amili ( w. 1104 w.) berkata:
الإِصْطِلاَحُ الْجَدِيْدُ (تَقْسِيْمُ الْحَدِيْثِ) مُوَافِقٌ لِاعْتِقَادِ الْعَامَّةِ (أَهْلُ السُّنَّةِ) وَاصْطِلاَحِهِمْ، بَلْ هُوَ مَأْخُوْذٌ مِنْ كُتُبِهِمْ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ بِالتَّتَبُّعِ وَكَمَا يُفْهَمُ مِنْ كَلاَمِ الشَّيْخِ حَسَنٍ وَغَيْرِهِ وَقَدْ أَمَرَنَا الأَئِمَّةُ (ع) بِاجْتِنَابِ طَرِيْقَةِ الْعَامَّةِ وَقَدْ تَقَدَّمَ مَا يَدُلُّ عَلَى ذلِكَ فِيْ الْقَضَاءِ فِيْ أَحَادِيْثِ تَرْجِيْحِ الْحَدِيْثَيْنِ الْمُخْتَلِفَيْنِ وَغَيْرِهَا.
“Istilah baru itu (klasifikasi hadis) sesuai dengan keyakinan ‘Awam (Ahlus-Sunah) dan istilah-istilah mereka, bahkan hal itu diambil dari kitab-kitab mereka sebagaimana hal itu tampak jelas dengan penelusuran dan seperti yang dapat difahami dari ucapan Syekh Hasan dan lainnya. Para Imam telah memerintahkan kita menjauhi cara kaum ‘Awam. Telah disebutkan terdahulu bukti yang menunjukkan hal itu dalam kitab (topik) al-Qadha pada hadis-hadis tentang mentarjih dua hadis yang bertentangan dan lainnya. [18]
Keterangan di atas menunjukkan bahwa klasifikasi baru yang digagas oleh Ibn Thawus dan dikembangkan oleh Alamah al-Hilli bukanlah karya orisinal mereka berdua melainkan hasil modifikasi teori ilmu hadis ulama Islam. [19]
Karena itu, penggunaan klasifikasi baru tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan ulama Syi’ah pasca generasi mutaakhir. Penolakan datang antara lain dari Syekh al-Hasan bin Zainuddin al-‘Amili[20] (w. 1011 H), Syekh Muhammad Amin al-Astarabadi[21] (w. 1036 H), Syekh al-Faidh al-Kasyani[22] (w. 1091 H), Syekh al-Hurr al-‘Amili[23] ( w. 1104 w.), Syekh Yusuf al-Bahrani[24] (w. 1181 H). Sementara pembelaan sekaligus bantahan datang antara lain dari Sayyid Hasan ash-Shadr[25] dan I’dad Abu al-Fadhl Hafizhuyani al-Babuli. [26]
Mengenai faktor yang mendorong Syiah membuat kaidah-kaidah dan pembagian-pembagian hadis sebagaimana di sebutkan di atas, Syekh Syiah terkemuka, al-Hur al-Amili, mengakui dan menjelaskan, bahwa sebab-sebab dari perletakan istilah shahîh, hasan, dha’if dan lain sebagainya, dalam hadis-hadis Syiah dan perhatian Syiah pada sanad serta kritik hadis adalah karena mereka berkepentingan untuk menghadapi Ahlussunnah. Lebih jelas, Hur al-Amili berkata sebagai berikut:
Adapun faidah dari penyebutan sanad-sanad hadis adalah guna menangkis cemooh orang kebanyakan (maksudnya Ahlussunnah) terhadap Syiah, dengan kecaman bahwa hadis-hadis Syiah tidak memiliki jalur periwayatan yang jelas dan runtun, akan tetapi hanya mencuplik dari buku-buku para pendahulu mereka.[27]
Fakta ini menjadi bukti yang sangat jelas dan valid, bahwa perhatian Syiah terhadap ilmu dan metodologi hadis memang tumbuh jauh terlambat dari Ahlussunnah. Lebih dari itu, motivatornya bukan untuk menyeleksi ke-shahîh–an hadis, sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlussunnah, namun justru dimaksudkan untuk menampakkan kesahihan hadis mereka, kendati itu palsu.
Kendati demikian, metodologi hadis yang ditetapkan oleh Syiah, andai saja diterapkan untuk menyeleksi hadis-hadis mereka sendiri, maka hadis-hadis itu akan tinggal sekelumit saja. Hal ini rupanya telah disadari dan diakui sendiri oleh pemuka Syiah, Syekh Yusuf al-Bahrani (w. 1186). Ia menyatakan sebagai berikut:
Pilihan yang mesti kita (Syiah) ambil adalah mengambil hadis-hadis (Syiah) ini, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita, atau membuat aliran baru yang bukan aliran (Syiah) ini, dan membuat syariat baru yang bukan syariat (Syiah) ini, akibat kekurangan dan ketidak sempurnannya. Sebab telah jelas jika memang tidak ada dalil yang kuat bagi sejumlah besar hukum-hukumnya….[28]
Dengan demikian, statemen Syiah yang menyatakan bahwa hadis-hadis dihimpun melalui transmisi dan periwayatan yang sambung-beruntun serta dapat dipertanggung-jawabkan (sebagaimana yang telah dikutip di atas, pada pembahasan al-Kutub al-Arba’ah), adalah tidak tepat. Selain terbantah oleh kenyataan sejarah dan data-data terpercaya, statemen itu juga dimentahkan oleh pengakuan dari tokoh-tokoh Syiah sendiri, sebagaimana pernyataan Ibnu Abi al-Hadid di atas.
Lebih dari itu, dalam pandangan ulama al-Jarh wa at-Ta’dîl (ilmu evaluasi positif dan negatif periwayat hadis), Syiah merupakan kelompok yang paling banyak melakukan kebohongan-kebohongan (akdzab at-thawâ’if) di bidang hadis.[29] Akibatnya, selain banyak yang palsu, hadis-hadis Syiah juga banyak yang bertentangan antara yang satu dengan yang lain, selain juga jelas bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis-hadis shahîh.
By Apad Ruslan, diadaptasi dari buku:
Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
Hitam dibalik Putih: Bantahan Terhadap Buku Putih Madzhab Syi’ah, karya Amin Muchtar, terbitan al-Qalam, cetakan kedua, Desember 2014
[1]Misalnya, tercermin dalam pernyataan yang dinisbatkan kepada Imam Syi’ah ke-5 Abu Ja’far Muhammad al-Baqir (w. 114 H), bahwa para sahabat telah murtad sesudah wafatnya Rasulullah Saw, kecuali tiga orang. Hadis al-Baqir ini diriwayatkan oleh al-Kulaini melalui jalur periwayatan Hanan bin Sadir, dari ayahnya (Sadir):
عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ (عليه السلام) قَالَ : كَانَ النَّاسُ أَهْلَ رِدَّةِ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله إِلاَّ ثَلاَثَةً فَقُلْتُ: وَمَنِ الثَّلاَثَةُ؟ فَقَالَ: الْمِقْدَادُ بْنُ الأَسْوَدِ وَأَبُوْ ذَرٍّ الْغِفَارِيْ وَسَلْمَانُ الْفَارِسِيُّ رَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْهِمْ ثُمَّ عَرَفَ أُنَاسٌ بَعْدَ يَسِيْرٍ وَقَالَ: هؤُلاَءِ الَّذِيْنَ دَارَتْ عَلَيْهِمْ الرَّحَا وَأَبَوْا أَنْ يُبَايِعُوْا حَتَّى جَاؤُوْا بِأَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ (عليه السلام) مُكْرَهًا فَبَايَعَ وَذلِكَ قَوْلُ اللهِ تعالى: وما محمد إلا رسول قد خلت من قبله الرسل أفإن مات أو قتل انقلبتم على أعقابكم ومن ينقلب على عقبيه فلن يضر الله شيئا وسيجزي الله الشاكرين –
“Dari Abu Ja’far ‘alaihis salaam, ia berkata, “Manusia setelah Nabi shallaahu ‘alaihi wa aalih murtad kecuali tiga orang.” Saya (Sadir) bertanya, “Siapa tiga orang itu?” Abu Ja’far menjawab, “al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi rahmatullah wa barakatuhu ‘alaihim. Tidak lama setelah itu, orang-orang mengetahui.” dan berkata, ‘Mereka itulah orang-orang yang akan dikelilingi oleh awan (Islam, iman, dan kemenangan al-haq), dan mereka enggan berbai’at sehingga mendatangi Amirul Mukminin (Ali) ‘alaihis salam (yang ketika itu tidak disenangi), maka dia berbaiat. itulah firman Allah Ta’ala, ‘Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul, apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur (Qs. Ali Imran: 144)’.” Lihat, al-Kafi, bagian ar-Rawdhah, terbitan Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, Cetakan III, tahun 1388 H, Juz 8, hal. 245-246, Hadis No. 341, bab:
النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله أَهْلُ رِدَّةٍ إِلاَّ ثَلاَثَةً
Lihat pula, al-Kafi versi baru, terbitan Dar al-Hadits, Qum, Iran, tahun 1430 H, tahqiq Markaz Buhuts Dar al-Hadits, juz 15, hal. 558-559, Hadis No. 15.156, bab:
إِنَّ عَامَّةَ الصَّحَابَةِ نَقَضُوْا عَهْدَهُمْ وَارْتَدُّوْا بَعْدَ رَسُوْلِ اللّه صلى الله عليه و آله = النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و آله أَهْلُ رِدَّةٍ إِلاَّ ثَلاَثَةً
Lihat pula dalam al-Wafi Syarh al-Kafi, karya al-Faydh al-Kasyani, Juz 2, hal. 198-199, pada bab
إِنَّ عَامَّةَ الصَّحَابَةِ نَقَضُوْا عَهْدَهُمْ وَارْتَدُّوْا بَعْدَ رَسُوْلِ اللّه صلى الله عليه و آله
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh al-Kasyyi, dengan sedikit perbedaan redaksi pada kalimat:
…وَأَبَوْا أَنْ يُبَايِعُوْا لِأَبِيْ بَكْرٍ حَتَّى جَاؤُوْا بِأَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ…
(Lihat, Rijal al-Kasyyi, hal. 26-27, Hadis No. 12)
Hadis di atas dijadikan rujukan oleh para ulama Syi’ah, antara lain Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayyasyi dalam Tafsir al-‘Ayyasyi, Juz 1, hal. 199, Hadis No. 148; Syekh al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar, Juz 28, hal. 236, Hadis No. 22. Kata Syekh al-Majlisi:
الْحَدِيْثُ الْحَادِيُّ وَالأَرْبَعُوْنَ وَالثَّلاَثُمِائَةِ : حَسَنٌ أَوْ مُوَثَّقٌ
“Hadis No. 341, Hasan atau Muwatsaq.” Lihat, Mir’ah al-‘Uqul fi Syarh Akhbari Ali ar-Rasul, Juz 26, hal. 213, Hadis No. 341, bab:
إِرْتِدَادُ النَّاسِ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله إِلاَّ ثَلاَثَةً
Penjelasan tentang kriteria Hasan atau Muwatsaq menurut ulama Syi’ah dapat dibaca pada pembahasan selanjutnya.
[2]Penjelasan secara garis besar tentang sikap Syi’ah terhadap sahabat, Tabi’in, hingga generasi pencatat hadis yang tidak diterima periwayatannya dapat dibaca antara lain, pada tulisan Sayyid Murtadha al-‘Askari, dalam Muqadimah Mir’ah al-Ushul fi Syarh Akhbar ar-Rasul, karya Syekh al-Majlisi, Juz 1, hal. 24- 26.
[3]Suatu cabang filsafat yang membahas tentang asal, struktur, metode-metode, keshahihan, dan tujuan pengetahuan. Epistemologi, juga merupakan sarana untuk mendekati masalah-masalah pokok berkaitan dengan dinamika ilmu pengetahuan yang menyangkut sumber, hakekat, validitas dan metodologi.
[4]Banyak definisi yang diajukan oleh para ulama Syi’ah tentang kriteria shahih menurut ulama Syiah mutaqaddimin, antara lain: “Shahih menurut al-Qudama’ ialah hadis yang dipercayai bersumber dari imam ma’shum. Makna ini lebih umum daripada sekadar kepercayaan yang bersumber dari seorang rawi yang tsiqah (kredibel) dan tanda-tanda lainnya. Dan mereka dapat memastikannya bersumber darinya atau menduga.” Lihat, Masyriq asy-Syamsain, hal. 269; Jami al-Maqal, hal. 35; Fawa’id al-Wahid, hal. 27; Lub al-Bab, hal. 457, Nihayah ad-Dirayah, hal. 116; Miqbas al-Hidayah, Juz 1, hal. 183, Juz 2, hal. 168. Namun, menurut ulama Syiah mutaakhirin, sebagaimana disebutkan Syahid Tsani, “Hadis shahih ialah yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum, diriwayatkan oleh rawi adil lagi syi’ah imami dari yang semisalnya dalam semua tingkatan di mana tingkatan itu banyak, dan meskipun terkena syadz.” Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 77. Definisi ini dikutip oleh al-Hasan bin Zainuddin (Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 4), Syekh Mahdi al-Kajuri asy-Syirazi (al-Fawa’id ar-Rijaliyyah, hal. 183), I’dad Abu al-Fadhl Hafizhiyani al-Babuli (Rasa’il fi Dirayah al-Hadits, Juz 1, hal. 125), dan Syekh Ja’far Subhani (Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 50)
[5] Menurut Syahid Tsani, “Hadis muwassaq yaitu hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum, namun pada sanadnya terdapat orang yang dinyatakan tsiqah oleh para pemilik kitab rijal, meskipun dia rusak akidahnya, dan aspek-aspek lainnya tidak meliputi yang dha’if.” Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 84. Definisi ini dikutip oleh I’dad Abu al-Fadhl Hafizhiyani al-Babuli (Rasa’il fi Dirayah al-Hadits, Juz 1, hal. 125), dengan tambahan kalimat di awal: wa yuqaalu lahu al-qawwi. Dikutip pula oleh Muhyiddin al-MuSawi al-Ghuraifi (Qawa’id al-Hadits, hal. 24), Syekh Akram Barakat (Durus fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 48), Ja’far Subhani (Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 50). Latar belakang penamaan muwatsaq, dijelaskan pula oleh Syahid Tsani, “Dinamakan demikian (muwatsaq) karena rawinya tsiqah meskipun berbeda akidah. Dan dengan unsur ini, muwatsaq berbeda dengan Shahih meskipun terdapat kesamaan pada aspek tsiqah. Dinamakan pula Qawwi karena dugaan kuat padanya dengan sebab penilaian tsiqah terhadap dirinya.” Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 84
[6] Menurut Syahid Tsani, “Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum diriwayatkan oleh rawi imami yang terpuji meskipun tidak ada yang menyatakan sifat adilnya, serta yang demikian itu nyata pada semua atau sebagian tingkatan rawi dalam sanadnya, sementara para rawi lainnya termasuk kategori rawi shahih.” Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 81. Definisi ini dikutip oleh al-Hasan bin Zainuddin (Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 5), I’dad Abu al-Fadhl Hafizhiyani al-Babuli (Rasa’il fi Dirayah al-Hadis, Juz 1, hal. 297), Sayyid Hasan ash-Shadr (Nihayah ad-Dirayah, hal. 289), Syekh Ja’far Subhani (Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 50) dan Muhammad Ridha Jadidi (Mu’jam Musthalahat ar-Rijal wa ad-Dirayah, hal. 56), semuanya menyertakan tambahan kalimat:
بلا معارضة ذم مقبول
Dikutip pula oleh Muhyiddin al-Musawi al-Ghuraifi (Qawa’id al-Hadits, hal. 24), Syekh Ali Akbar al-Mazandarani (Miqyas ar-Riwayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 66-67), Syekh Akram Barakat (Durus fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 48), Abul Huda al-Kalbasi (Sama’ al-Maqal fi ‘Ilm ar-Rijal, hal. 448), dan Dr. Abdul Hadi al-Fadhli (Ushul al-Hadits, hal. 107), semuanya tanpa menyertakan kalimat di atas.
[7] Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, Juz 1, hal. 95; Miqbas al-Hidayah, Juz 1, hal. 137; Durus fi ’Ilm ad-Dirayah, hal. 45. Bandingkan dengan keterangan Syekh Ja’far Subhani dalam Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 46-47.
[8]Para ulama Syi’ah berbeda pendapat dalam menetapkan orang yang mempeloporinya. Sebagian berpendapat bahwa pelopornya Ibn Thawus (w. 674 H). Sementara ulama lainnya berpendapat Alamah al-Hilli (w. 726 H.). Menurut Syekh Ja’far Subhani, yang benar bahwa pelopornya Ibn Thawus, sebagaimana anda ketahui pernyataan Syekh Zainuddin al-‘Amili, penyusun kitab Muntaqa al-Juman. (Lihat, Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu, hal. 46).
[9] Hadis Qawwi menurut Syahid Awal dan Syahid Tsani istilah lain bagi hadis Muwatsaq. Pendapat ini diikuti para ulama Syi’ah periode selanjutnya, seperti al-Hasan bin Zainuddin[9], Sayyid Murtadha al-Askari, Syekh Ali Akbar al-Mazandarani, dan I’dad Abu al-Fadhl Hafizhiyani al-Babuli.
Namun Syekh Sayyid Hasan ash-Shadr dan Syekh Abul Huda al-Kalbasi mempunyai pendapat yang berbeda, karena menurut keduanya istilah Qawwi memiliki kriteria tersendiri yang layak diposisikan sebagai martabat terpisah. Meski berbeda dalam menetapkan posisi Qawwi, namun keduanya sepakat menetapkan klasifikasi hadis itu menjadi 5 macam. Menurut Sayyid Hasan ash-Shadr, “Qawwi adalah khabar yang pada silsilah sanadnya terdapat dua rawi imami tanpa pujian dan tidak pula celaan, baik kedua-duanya maupun salah satunya, namun para rawi lainnya mendapat penilaian ‘adil. Maka qawwi secara istilah karena dugaan kuat padanya.” Lihat, Nihayah ad-Dirayah, hal. 263.
[10] Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ar-Dirayah, hal. 85; al-Wajizah fi ad-Dirayah, hal. 5. Lihat pula keterangan Dr. Sayyid Ridha Mu’addib dalam Tarikh al-Hadits, hal. 124.
[11] Lihat, Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 13.
[12] Lihat, Rawdhah al-Muttaqin fi Syarh Man La Yahdhuruh al-Faqih, Juz 1, hal. 19.
[13] Lihat, Wasa’il asy-Syi’ah, Juz 30, hal. 262.
[14] Lihat, al-Hada’iq an-Nadhirah, Juz 1, hal. 14
[15] Lihat, A’yan asy-Syi’ah, Juz 1, hal. 149
[16] Lihat, Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 8.
[17] Lihat, Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 13.
[18]Lihat, Wasa’il asy-Syi’ah, Juz 30, hal. 262; Pandangan beliau—dengan sedikit perbedaan redaksi—disampaikan pula dalam kitab Hidayah al-‘Ummah ilaa Ahkam al-Aimmah, Juz 8, hal. 581.
[19]Menurut Syekh Ja’far Subhani, klasifikasi ini kemungkinan diambil dari karya-karya ulama mutaqaddimin seperti Syekh as-Shaduq, Sayyid Murtadha dalam kitabnya Dzari’ah, dan Syekh ath-Thusi dalam kitabnya ‘Uddah. Namun dimungkinkan pula diambil dari klasifikasi tiga macam hadis yang beredar di kalangan Ahli Hadis Islam. Karena hadis menurut mereka terbagi menjadi shahih, hasan, dan dha’if. (Lihat, Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu, hal. 47).
Selain dalam peristilahan klasifikasi hadis, ulama Syi’ah generasi berikutnya—setelah selesai era mutaakhir—menjiplak pula teori-teori ilmu hadis dirayah Islam. Demikian itu dilakukan oleh Syahid Tsani (911-966 H). Namanya Zainuddin bin Nuruddin ‘Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Jamaluddin al-‘Amili. Beliau dipandang sebagai ulama Syi’ah pertama yang membukukan ilmu dirayah hadis. Demikian itu diakui oleh ulama Syi’ah, antara lain Syekh Husen Abdus Shamad Walid al-Baha’I al-‘Amili (918-984 H), sebagai murid Syahid Tsani. Beliau berkata tentang biografi, gurunya Syekh Zainuddin asy-Syahid:
ثُمَّ اعْلَمْ أَنَّ الشَّيْخَ زَيْنَ الدِّيْنِ هذَا هُوَ أَوَّلُ مَنْ نَقَلَ عِلْمَ الدِّرَايَةِ مِنْ كُتُبِ الْعَامَّةِ وَطَرِيْقَتَهُمْ إِلَى كُتُبِ الْخَاصَّةِ، وَأَلَّفَ فِيْهِ الرِّسَالَةَ الْمَشْهُوْرَةَ ثُمَّ شَرَحَهَا كَمَا صَرَّحَ بِهِ جَمَاعَةٌ مِمَّنْ تَأَخَّرَ عَنْهُ ، وَيَلُوْحُ مِنْ تَتَبُّعِ كُتُبِ الأَصْحَابِ أَيْضًا، ثُمَّ أَلَّفَ بَعْدَهُ تِلْمِيْذُهُ الشَّيْخُ حُسَيْنُ ابْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ الْحَارِثِيُّ وَبَعْدَهُ وَلَدُهُ الشَّيْخُ الْبُهَائِيُّ وَهكَذَا
“Kemudian, ketahuilah bahwa Syekh Zainuddin ini adalah orang yang pertama menukil ilmu dirayah dari kitab-kitab awam (Islam) dan metode mereka ke dalam kitab-kitab kelompok khusus (Syi’ah), dan padanya disusun risalah yang populer, lalu beliau mensyarahinya sebagaimana dijelaskan oleh sekelompok orang yang hidup setelah beliau dan tampak pula dari penelusuran kitab-kitab para sahabatnya, dan setelah itu oleh anaknya Syekh Buha’I, demikianlah.”
Selanjutnya, beliau berkata:
وَهُوَ – أَيْ الشَّهِيْدُ الثَّانِيْ – أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ مِنَ الإِمَامِيَّةِ فِيْ دِرَايَةِ الْحَدِيْثِ لكِنَّهُ نَقَلَ الإِصْطِلاَحَاتِ مِنْ كُتُبِ الْعَامَّةِ كَمَا ذَكَرَهُ وَلَدُهُ وَغَيْرُهُ .
“Dan dia—Syahid Tsani—orang Syi’ah Imamiyah yang pertama kali menyusun ilmu dirayah hadis, namun dia menukil berbagai istilah dari kitab-kitab awam (ahlusunah), sebagaimana disebutkan oleh anaknya dan lain-lain.” (Lihat, Wushul al-Akhyar ila Ushul al-Akhbar, hal. 7-8).
Syekh al-Ha’iri berkata:
إِنَّهُ لَمْ يُصَنِّفْ فِيْ دِرَايَةِ الْحَدِيْثِ مِنْ عُلَمَائُنَا قَبْلَ الشَّهِيْدِ الثَّانِيْ وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ عُلُوْمِ الْعَامَّةِ
“Tidak ada ulama kita yang menyusun ilmu dirayah hadis sebelum Syahid Tsani, dan dia tiada lain diambil dari ilmu-ilmu kelompok ‘awam (Islam).” (Lihat, Muqtabas al-Atsar, Juz 3, hal. 73).
Syekh al-Hurr al-‘Amili berkata:
وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ مِنَ الإِمَامِيَّةِ فِيْ دِرَايَةِ الْحَدِيْثِ لكِنَّهُ نَقَلَ الإِصْطِلاَحَاتِ مِنْ كُتُبِ الْعَامَّةِ كَمَا ذَكَرَهُ وَلَدُهُ وَغَيْرُهُ
“Dia ulama Syi’ah Imamiyah yang pertama menyusun ilmu dirayah hadis, namun dia menukil berbagai istilah dari kitab-kitab awam, sebagaimana disebutkan oleh anaknya dan lain-lain.” (Lihat, Amal al-Amil, Juz 1, hal. 86; Mu’jam Rijal al-Hadits, Juz 8, hal. 385)
[20] Dalam kitabnya Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 10 dan seterusnya.
[21] Dalam kitabnya al-Fawa’id al-Madaniyah, hal. 181 dan seterusnya.
[22] Dalam kitabnya al-Wafi, Juz 1, hal. 19 dan seterusnya, pada topik al-Muqaddamah ats-tsaniah.
[23] Dalam kitabnya Tafshil Wasa’il asy-Syi’ah, Juz 30, hal. 249 dan seterusnya, Fasal ke-9, topik:
فِي الإِسْتِدْلاَلِ عَلَى صِحَّةِ أَحَادِيْثِ الْكُتُبِ الْمَنْقُوْلِ مِنْهَا
“Tentang mencari petunjuk mengenai keshahihan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab yang disalin darinya”
[24] Dalam kitabnya al-Hada’iq an-Nazhirah, Juz 1, hal. 14 dan seterusnya, pada topik:
فِيْ إِثْبَاتِ صِحَّةِ جَمِيْعِ الأَخْبَارِ وَإِبْطَالِ الإِصْطِلاَحِ فِيْ تَنْوِيْعِ الْحَدِيْثِ إِلَى الأَنْوَاعِ الأَرْبَعَةِ
[25] Dalam kitabnya Nihayah ad-Dirayah, hal. 109 dan seterusnya, Fasal ke-9, topik Tanwi’ al-Hadis.
[26] Dalam kitabnya Risalah fi Dirayah al-Hadits, Juz 2, hal. 238 dan seterusnya, pada topik fii Hujjah an-Nafiy.
[27] Ibid.
[28] Rujuk dalam Lu’lu’ al-Bahrain, hlm. 47, dikutip dalam Nukhâwalah al-Madaniyah: Bahts Tafshîlî, hlm. 75-77.
[29] Nashb ar-Râyah fi Takhrîj Ahadîts al-Hidâyah, juz 2 hlm. 273.
(sigabah.com/syiahindonesia.com)
عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ (عليه السلام) قَالَ : كَانَ النَّاسُ أَهْلَ رِدَّةِ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله إِلاَّ ثَلاَثَةً فَقُلْتُ: وَمَنِ الثَّلاَثَةُ؟ فَقَالَ: الْمِقْدَادُ بْنُ الأَسْوَدِ وَأَبُوْ ذَرٍّ الْغِفَارِيْ وَسَلْمَانُ الْفَارِسِيُّ رَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْهِمْ ثُمَّ عَرَفَ أُنَاسٌ بَعْدَ يَسِيْرٍ وَقَالَ: هؤُلاَءِ الَّذِيْنَ دَارَتْ عَلَيْهِمْ الرَّحَا وَأَبَوْا أَنْ يُبَايِعُوْا حَتَّى جَاؤُوْا بِأَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ (عليه السلام) مُكْرَهًا فَبَايَعَ وَذلِكَ قَوْلُ اللهِ تعالى: وما محمد إلا رسول قد خلت من قبله الرسل أفإن مات أو قتل انقلبتم على أعقابكم ومن ينقلب على عقبيه فلن يضر الله شيئا وسيجزي الله الشاكرين –
“Dari Abu Ja’far ‘alaihis salaam, ia berkata, “Manusia setelah Nabi shallaahu ‘alaihi wa aalih murtad kecuali tiga orang.” Saya (Sadir) bertanya, “Siapa tiga orang itu?” Abu Ja’far menjawab, “al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi rahmatullah wa barakatuhu ‘alaihim. Tidak lama setelah itu, orang-orang mengetahui.” dan berkata, ‘Mereka itulah orang-orang yang akan dikelilingi oleh awan (Islam, iman, dan kemenangan al-haq), dan mereka enggan berbai’at sehingga mendatangi Amirul Mukminin (Ali) ‘alaihis salam (yang ketika itu tidak disenangi), maka dia berbaiat. itulah firman Allah Ta’ala, ‘Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul, apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur (Qs. Ali Imran: 144)’.” Lihat, al-Kafi, bagian ar-Rawdhah, terbitan Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, Cetakan III, tahun 1388 H, Juz 8, hal. 245-246, Hadis No. 341, bab:
النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله أَهْلُ رِدَّةٍ إِلاَّ ثَلاَثَةً
Lihat pula, al-Kafi versi baru, terbitan Dar al-Hadits, Qum, Iran, tahun 1430 H, tahqiq Markaz Buhuts Dar al-Hadits, juz 15, hal. 558-559, Hadis No. 15.156, bab:
إِنَّ عَامَّةَ الصَّحَابَةِ نَقَضُوْا عَهْدَهُمْ وَارْتَدُّوْا بَعْدَ رَسُوْلِ اللّه صلى الله عليه و آله = النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و آله أَهْلُ رِدَّةٍ إِلاَّ ثَلاَثَةً
Lihat pula dalam al-Wafi Syarh al-Kafi, karya al-Faydh al-Kasyani, Juz 2, hal. 198-199, pada bab
إِنَّ عَامَّةَ الصَّحَابَةِ نَقَضُوْا عَهْدَهُمْ وَارْتَدُّوْا بَعْدَ رَسُوْلِ اللّه صلى الله عليه و آله
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh al-Kasyyi, dengan sedikit perbedaan redaksi pada kalimat:
…وَأَبَوْا أَنْ يُبَايِعُوْا لِأَبِيْ بَكْرٍ حَتَّى جَاؤُوْا بِأَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ…
(Lihat, Rijal al-Kasyyi, hal. 26-27, Hadis No. 12)
Hadis di atas dijadikan rujukan oleh para ulama Syi’ah, antara lain Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayyasyi dalam Tafsir al-‘Ayyasyi, Juz 1, hal. 199, Hadis No. 148; Syekh al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar, Juz 28, hal. 236, Hadis No. 22. Kata Syekh al-Majlisi:
الْحَدِيْثُ الْحَادِيُّ وَالأَرْبَعُوْنَ وَالثَّلاَثُمِائَةِ : حَسَنٌ أَوْ مُوَثَّقٌ
“Hadis No. 341, Hasan atau Muwatsaq.” Lihat, Mir’ah al-‘Uqul fi Syarh Akhbari Ali ar-Rasul, Juz 26, hal. 213, Hadis No. 341, bab:
إِرْتِدَادُ النَّاسِ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله إِلاَّ ثَلاَثَةً
Penjelasan tentang kriteria Hasan atau Muwatsaq menurut ulama Syi’ah dapat dibaca pada pembahasan selanjutnya.
[2]Penjelasan secara garis besar tentang sikap Syi’ah terhadap sahabat, Tabi’in, hingga generasi pencatat hadis yang tidak diterima periwayatannya dapat dibaca antara lain, pada tulisan Sayyid Murtadha al-‘Askari, dalam Muqadimah Mir’ah al-Ushul fi Syarh Akhbar ar-Rasul, karya Syekh al-Majlisi, Juz 1, hal. 24- 26.
[3]Suatu cabang filsafat yang membahas tentang asal, struktur, metode-metode, keshahihan, dan tujuan pengetahuan. Epistemologi, juga merupakan sarana untuk mendekati masalah-masalah pokok berkaitan dengan dinamika ilmu pengetahuan yang menyangkut sumber, hakekat, validitas dan metodologi.
[4]Banyak definisi yang diajukan oleh para ulama Syi’ah tentang kriteria shahih menurut ulama Syiah mutaqaddimin, antara lain: “Shahih menurut al-Qudama’ ialah hadis yang dipercayai bersumber dari imam ma’shum. Makna ini lebih umum daripada sekadar kepercayaan yang bersumber dari seorang rawi yang tsiqah (kredibel) dan tanda-tanda lainnya. Dan mereka dapat memastikannya bersumber darinya atau menduga.” Lihat, Masyriq asy-Syamsain, hal. 269; Jami al-Maqal, hal. 35; Fawa’id al-Wahid, hal. 27; Lub al-Bab, hal. 457, Nihayah ad-Dirayah, hal. 116; Miqbas al-Hidayah, Juz 1, hal. 183, Juz 2, hal. 168. Namun, menurut ulama Syiah mutaakhirin, sebagaimana disebutkan Syahid Tsani, “Hadis shahih ialah yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum, diriwayatkan oleh rawi adil lagi syi’ah imami dari yang semisalnya dalam semua tingkatan di mana tingkatan itu banyak, dan meskipun terkena syadz.” Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 77. Definisi ini dikutip oleh al-Hasan bin Zainuddin (Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 4), Syekh Mahdi al-Kajuri asy-Syirazi (al-Fawa’id ar-Rijaliyyah, hal. 183), I’dad Abu al-Fadhl Hafizhiyani al-Babuli (Rasa’il fi Dirayah al-Hadits, Juz 1, hal. 125), dan Syekh Ja’far Subhani (Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 50)
[5] Menurut Syahid Tsani, “Hadis muwassaq yaitu hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum, namun pada sanadnya terdapat orang yang dinyatakan tsiqah oleh para pemilik kitab rijal, meskipun dia rusak akidahnya, dan aspek-aspek lainnya tidak meliputi yang dha’if.” Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 84. Definisi ini dikutip oleh I’dad Abu al-Fadhl Hafizhiyani al-Babuli (Rasa’il fi Dirayah al-Hadits, Juz 1, hal. 125), dengan tambahan kalimat di awal: wa yuqaalu lahu al-qawwi. Dikutip pula oleh Muhyiddin al-MuSawi al-Ghuraifi (Qawa’id al-Hadits, hal. 24), Syekh Akram Barakat (Durus fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 48), Ja’far Subhani (Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 50). Latar belakang penamaan muwatsaq, dijelaskan pula oleh Syahid Tsani, “Dinamakan demikian (muwatsaq) karena rawinya tsiqah meskipun berbeda akidah. Dan dengan unsur ini, muwatsaq berbeda dengan Shahih meskipun terdapat kesamaan pada aspek tsiqah. Dinamakan pula Qawwi karena dugaan kuat padanya dengan sebab penilaian tsiqah terhadap dirinya.” Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 84
[6] Menurut Syahid Tsani, “Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum diriwayatkan oleh rawi imami yang terpuji meskipun tidak ada yang menyatakan sifat adilnya, serta yang demikian itu nyata pada semua atau sebagian tingkatan rawi dalam sanadnya, sementara para rawi lainnya termasuk kategori rawi shahih.” Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 81. Definisi ini dikutip oleh al-Hasan bin Zainuddin (Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 5), I’dad Abu al-Fadhl Hafizhiyani al-Babuli (Rasa’il fi Dirayah al-Hadis, Juz 1, hal. 297), Sayyid Hasan ash-Shadr (Nihayah ad-Dirayah, hal. 289), Syekh Ja’far Subhani (Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 50) dan Muhammad Ridha Jadidi (Mu’jam Musthalahat ar-Rijal wa ad-Dirayah, hal. 56), semuanya menyertakan tambahan kalimat:
بلا معارضة ذم مقبول
Dikutip pula oleh Muhyiddin al-Musawi al-Ghuraifi (Qawa’id al-Hadits, hal. 24), Syekh Ali Akbar al-Mazandarani (Miqyas ar-Riwayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 66-67), Syekh Akram Barakat (Durus fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 48), Abul Huda al-Kalbasi (Sama’ al-Maqal fi ‘Ilm ar-Rijal, hal. 448), dan Dr. Abdul Hadi al-Fadhli (Ushul al-Hadits, hal. 107), semuanya tanpa menyertakan kalimat di atas.
[7] Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ad-Dirayah, Juz 1, hal. 95; Miqbas al-Hidayah, Juz 1, hal. 137; Durus fi ’Ilm ad-Dirayah, hal. 45. Bandingkan dengan keterangan Syekh Ja’far Subhani dalam Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm ad-Dirayah, hal. 46-47.
[8]Para ulama Syi’ah berbeda pendapat dalam menetapkan orang yang mempeloporinya. Sebagian berpendapat bahwa pelopornya Ibn Thawus (w. 674 H). Sementara ulama lainnya berpendapat Alamah al-Hilli (w. 726 H.). Menurut Syekh Ja’far Subhani, yang benar bahwa pelopornya Ibn Thawus, sebagaimana anda ketahui pernyataan Syekh Zainuddin al-‘Amili, penyusun kitab Muntaqa al-Juman. (Lihat, Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu, hal. 46).
[9] Hadis Qawwi menurut Syahid Awal dan Syahid Tsani istilah lain bagi hadis Muwatsaq. Pendapat ini diikuti para ulama Syi’ah periode selanjutnya, seperti al-Hasan bin Zainuddin[9], Sayyid Murtadha al-Askari, Syekh Ali Akbar al-Mazandarani, dan I’dad Abu al-Fadhl Hafizhiyani al-Babuli.
Namun Syekh Sayyid Hasan ash-Shadr dan Syekh Abul Huda al-Kalbasi mempunyai pendapat yang berbeda, karena menurut keduanya istilah Qawwi memiliki kriteria tersendiri yang layak diposisikan sebagai martabat terpisah. Meski berbeda dalam menetapkan posisi Qawwi, namun keduanya sepakat menetapkan klasifikasi hadis itu menjadi 5 macam. Menurut Sayyid Hasan ash-Shadr, “Qawwi adalah khabar yang pada silsilah sanadnya terdapat dua rawi imami tanpa pujian dan tidak pula celaan, baik kedua-duanya maupun salah satunya, namun para rawi lainnya mendapat penilaian ‘adil. Maka qawwi secara istilah karena dugaan kuat padanya.” Lihat, Nihayah ad-Dirayah, hal. 263.
[10] Lihat, ar-Ri’ayah fi ‘Ilm ar-Dirayah, hal. 85; al-Wajizah fi ad-Dirayah, hal. 5. Lihat pula keterangan Dr. Sayyid Ridha Mu’addib dalam Tarikh al-Hadits, hal. 124.
[11] Lihat, Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 13.
[12] Lihat, Rawdhah al-Muttaqin fi Syarh Man La Yahdhuruh al-Faqih, Juz 1, hal. 19.
[13] Lihat, Wasa’il asy-Syi’ah, Juz 30, hal. 262.
[14] Lihat, al-Hada’iq an-Nadhirah, Juz 1, hal. 14
[15] Lihat, A’yan asy-Syi’ah, Juz 1, hal. 149
[16] Lihat, Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 8.
[17] Lihat, Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 13.
[18]Lihat, Wasa’il asy-Syi’ah, Juz 30, hal. 262; Pandangan beliau—dengan sedikit perbedaan redaksi—disampaikan pula dalam kitab Hidayah al-‘Ummah ilaa Ahkam al-Aimmah, Juz 8, hal. 581.
[19]Menurut Syekh Ja’far Subhani, klasifikasi ini kemungkinan diambil dari karya-karya ulama mutaqaddimin seperti Syekh as-Shaduq, Sayyid Murtadha dalam kitabnya Dzari’ah, dan Syekh ath-Thusi dalam kitabnya ‘Uddah. Namun dimungkinkan pula diambil dari klasifikasi tiga macam hadis yang beredar di kalangan Ahli Hadis Islam. Karena hadis menurut mereka terbagi menjadi shahih, hasan, dan dha’if. (Lihat, Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu, hal. 47).
Selain dalam peristilahan klasifikasi hadis, ulama Syi’ah generasi berikutnya—setelah selesai era mutaakhir—menjiplak pula teori-teori ilmu hadis dirayah Islam. Demikian itu dilakukan oleh Syahid Tsani (911-966 H). Namanya Zainuddin bin Nuruddin ‘Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Jamaluddin al-‘Amili. Beliau dipandang sebagai ulama Syi’ah pertama yang membukukan ilmu dirayah hadis. Demikian itu diakui oleh ulama Syi’ah, antara lain Syekh Husen Abdus Shamad Walid al-Baha’I al-‘Amili (918-984 H), sebagai murid Syahid Tsani. Beliau berkata tentang biografi, gurunya Syekh Zainuddin asy-Syahid:
ثُمَّ اعْلَمْ أَنَّ الشَّيْخَ زَيْنَ الدِّيْنِ هذَا هُوَ أَوَّلُ مَنْ نَقَلَ عِلْمَ الدِّرَايَةِ مِنْ كُتُبِ الْعَامَّةِ وَطَرِيْقَتَهُمْ إِلَى كُتُبِ الْخَاصَّةِ، وَأَلَّفَ فِيْهِ الرِّسَالَةَ الْمَشْهُوْرَةَ ثُمَّ شَرَحَهَا كَمَا صَرَّحَ بِهِ جَمَاعَةٌ مِمَّنْ تَأَخَّرَ عَنْهُ ، وَيَلُوْحُ مِنْ تَتَبُّعِ كُتُبِ الأَصْحَابِ أَيْضًا، ثُمَّ أَلَّفَ بَعْدَهُ تِلْمِيْذُهُ الشَّيْخُ حُسَيْنُ ابْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ الْحَارِثِيُّ وَبَعْدَهُ وَلَدُهُ الشَّيْخُ الْبُهَائِيُّ وَهكَذَا
“Kemudian, ketahuilah bahwa Syekh Zainuddin ini adalah orang yang pertama menukil ilmu dirayah dari kitab-kitab awam (Islam) dan metode mereka ke dalam kitab-kitab kelompok khusus (Syi’ah), dan padanya disusun risalah yang populer, lalu beliau mensyarahinya sebagaimana dijelaskan oleh sekelompok orang yang hidup setelah beliau dan tampak pula dari penelusuran kitab-kitab para sahabatnya, dan setelah itu oleh anaknya Syekh Buha’I, demikianlah.”
Selanjutnya, beliau berkata:
وَهُوَ – أَيْ الشَّهِيْدُ الثَّانِيْ – أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ مِنَ الإِمَامِيَّةِ فِيْ دِرَايَةِ الْحَدِيْثِ لكِنَّهُ نَقَلَ الإِصْطِلاَحَاتِ مِنْ كُتُبِ الْعَامَّةِ كَمَا ذَكَرَهُ وَلَدُهُ وَغَيْرُهُ .
“Dan dia—Syahid Tsani—orang Syi’ah Imamiyah yang pertama kali menyusun ilmu dirayah hadis, namun dia menukil berbagai istilah dari kitab-kitab awam (ahlusunah), sebagaimana disebutkan oleh anaknya dan lain-lain.” (Lihat, Wushul al-Akhyar ila Ushul al-Akhbar, hal. 7-8).
Syekh al-Ha’iri berkata:
إِنَّهُ لَمْ يُصَنِّفْ فِيْ دِرَايَةِ الْحَدِيْثِ مِنْ عُلَمَائُنَا قَبْلَ الشَّهِيْدِ الثَّانِيْ وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ عُلُوْمِ الْعَامَّةِ
“Tidak ada ulama kita yang menyusun ilmu dirayah hadis sebelum Syahid Tsani, dan dia tiada lain diambil dari ilmu-ilmu kelompok ‘awam (Islam).” (Lihat, Muqtabas al-Atsar, Juz 3, hal. 73).
Syekh al-Hurr al-‘Amili berkata:
وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ مِنَ الإِمَامِيَّةِ فِيْ دِرَايَةِ الْحَدِيْثِ لكِنَّهُ نَقَلَ الإِصْطِلاَحَاتِ مِنْ كُتُبِ الْعَامَّةِ كَمَا ذَكَرَهُ وَلَدُهُ وَغَيْرُهُ
“Dia ulama Syi’ah Imamiyah yang pertama menyusun ilmu dirayah hadis, namun dia menukil berbagai istilah dari kitab-kitab awam, sebagaimana disebutkan oleh anaknya dan lain-lain.” (Lihat, Amal al-Amil, Juz 1, hal. 86; Mu’jam Rijal al-Hadits, Juz 8, hal. 385)
[20] Dalam kitabnya Muntaqa al-Juman, Juz 1, hal. 10 dan seterusnya.
[21] Dalam kitabnya al-Fawa’id al-Madaniyah, hal. 181 dan seterusnya.
[22] Dalam kitabnya al-Wafi, Juz 1, hal. 19 dan seterusnya, pada topik al-Muqaddamah ats-tsaniah.
[23] Dalam kitabnya Tafshil Wasa’il asy-Syi’ah, Juz 30, hal. 249 dan seterusnya, Fasal ke-9, topik:
فِي الإِسْتِدْلاَلِ عَلَى صِحَّةِ أَحَادِيْثِ الْكُتُبِ الْمَنْقُوْلِ مِنْهَا
“Tentang mencari petunjuk mengenai keshahihan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab yang disalin darinya”
[24] Dalam kitabnya al-Hada’iq an-Nazhirah, Juz 1, hal. 14 dan seterusnya, pada topik:
فِيْ إِثْبَاتِ صِحَّةِ جَمِيْعِ الأَخْبَارِ وَإِبْطَالِ الإِصْطِلاَحِ فِيْ تَنْوِيْعِ الْحَدِيْثِ إِلَى الأَنْوَاعِ الأَرْبَعَةِ
[25] Dalam kitabnya Nihayah ad-Dirayah, hal. 109 dan seterusnya, Fasal ke-9, topik Tanwi’ al-Hadis.
[26] Dalam kitabnya Risalah fi Dirayah al-Hadits, Juz 2, hal. 238 dan seterusnya, pada topik fii Hujjah an-Nafiy.
[27] Ibid.
[28] Rujuk dalam Lu’lu’ al-Bahrain, hlm. 47, dikutip dalam Nukhâwalah al-Madaniyah: Bahts Tafshîlî, hlm. 75-77.
[29] Nashb ar-Râyah fi Takhrîj Ahadîts al-Hidâyah, juz 2 hlm. 273.
(sigabah.com/syiahindonesia.com)
Post A Comment:
0 comments: