Para ulama menetapkan bahwa hadits adalah setiap perkataan, perbuatan, atau penetapan yang dinukil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kewajiban berpedoman pada hadits sama halnya dengan keharusan berpedoman kepada Al-Qur’an, karena sejatinya setiap ucapan dan perbuatan Nabi selalu dibimbing oleh wahyu serta terbebas dari kesalahan (ma’shum). Selain itu mereka juga bersepakat bahwa tidak ada nabi atau rasul setelah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Namun, ketetapan tersebut ternyata dipahami dan diyakini berbeda oleh kelompok Syi’ah. Salah seorang ulama kontemporer Syiah mengatakan, “Sesungguhnya keyakinan akan kema’shuman para imam telah membuat hadits-hadits yang berasal dari mereka serta-merta menjadi shahih, tanpa harus mempersyaratkan adanya persambungan sanad sampai Rasulullah saw, sebagaimana yang dipersyaratkan di kalangan Ahl al-Sunnah.”( Al-Imam al-Shadiq: Muhammad Abu Zahrah. Dar al-Fikr al-‘Araby, Kairo. T.t.)
Sesungguhnya, Syiah memiliki definisi tersendiri tentang Sunnah.. Intinya, sunnah adalah “Perkataan, perbuatan dan taqrir dari al-Ma’shum.” Dan al-Ma’shum dalam pandangan Syiah Imamiyah tidak hanya terbatas di kalangan para nabi dan rasul. Para imam mereka juga termasuk dalam kategori ini ( Bihar al-Anwar al-Jami’ah li Durar Akhbar al-A’immah al-Athhar: Muhammad Baqir al-Majlisy (w. 1111 H), Mua’assasah al-Wafa’ Beirut. Cetakan kedua 1983 M )
Muhammad Ridha al-Muzhaffar –salah seorang ulama kontemporer Syiah- menjelaskan, “Al-Sunnah menurut kebanyakan fuqaha’ adalah “perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi”…Akan tetapi menurut (Syiah) Imamiyah –setelah meyakini bahwa perkataan al-Ma’shum dari kalangan Ahl al-Bait setingkat dengan perkataan Nabi saw sebagai sebuah hujjah yang wajib diikuti oleh para hamba- memperluas batasan al-Sunnah menjadi sesuatu yang mencakup perkataan, perbuatan dan taqrir setiap al-Ma’shum (dari Ahl al-Bait). Sehingga al-Sunnah dalam terminologi mereka adalah “perkataan, perbuatan dan taqrir al-Ma’shum.”
Ia melanjutkan, “Rahasia di balik itu semua adalah karena para imam dari kalangan Ahl al-Bait tidaklah sama dengan para perawi dan ahli hadits yang meriwayatkan dari Nabi –hingga perkataan mereka baru dapat dijadikan hujjah jika mereka ‘tsiqah’ dalam periwayatannya. Mereka adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Allah Ta’ala melalui lisan Nabi-Nya untuk menyampaikan hukum-hukum yang bersifat realita. Maka mereka tidak mungkin menetapkan hukum, kecuali jika hukum-hukum realita itu memang berasal dari Allah Ta’ala apa adanya. Dan itu semua (diperoleh) melalui jalur ilham –seperti Nabi melalui jalur wahyu-, atau melalui periwayatan (imam) ma’shum sebelumnya.”
Berdasarkan ini, maka penjelasan mereka terhadap hukum bukan termasuk dalam kategori periwayatan al-Sunnah atau ijtihad dalam menggali sumber-sumber tasyri’, akan tetapi karena merekalah sumber hukum (tasyri’) itu sendiri. (Da’irah al-Ma’arif al-Syi’iyyah: Hasan al-Amin. Dar al-Ta’aruf li al-Mathbu’at, Beirut. Cetakan keempat 1989 M)
Jika dikaji lebih lanjut, ternyata perbedaan dalam mendefinisikan hadits tersebut telah menciptakan perbedaan yang cukup serius pada tataran berikutnya. Syiah memiliki metode atau cara penilaian yang sangat berbeda dengan ketetapan ulama Ahlussunnah. Meskipun konsep penilaian hadits lahir belakangan dan terpaut waktu yang begitu jauh dengan Ahlussunnah, Syiah berani menyebutkan bahwa mayoritas hadits Ahlussunnah adalah palsu, karena hampir semuanya bersumber dari sahabat yang murtad.
Tentunya kesimpulan di atas adalah klaim Syiah semata, tidak memiliki dasar sedikit pun. Karena jika melihat konsep hadits yang dipahami Syiah, ternyata standar dalam menilai keshahihan sebuah hadits sangat longgar. Perhatian mereka terhadap hadits pun juga tertinggal jauh dengan usaha yang ditempuh oleh Ahlussunnah. Agar lebih mudah dalam memahami masalah tersebut, ada baiknya kita melihat beberapa perbedaan konsep atau proses penilaian hadits antara Ahlussunnah dan Syiah berikut ini:
- Awal Mula Penulisan Hadits
Ahlussunnah sudah membukukan hadits sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Yaitu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammengizinkan Abdullah bin Amru bin ‘Ash untuk menulis setiap hadits yang didengarkannya dari beliau. Kemudian usaha penulisan tersebut mendapat perhatian khusus pada masa sahabat, hingga akhirnya berhasil diwujudkan dalam bentuk kitab yang utuh pada masa Umar bin Abdul Aziz.
Sementara dalam literatur Syiah, belum ada di antara mereka yang memulai untuk menulis hadits kecuali pada tahun 290 H, yaitu hadits yang dikumpulkan oleh Abu Ja’far Al-Qumi (w. 290 H). Meskipun sebelumnya sudah pernah ada kumpulan hadits yang dikumpulkan oleh Salim bin Qois Al-Hilali (w. 138 H), namun kumpulan hadits tersebut dipermasalahkan oleh kalangan Syiah sendiri. Karena dalam kumpulan hadits Salim tersebut menyatakan bahwa imam yang maksum adalah tiga belas orang, padahal menurut ketetapan jumhur Syiah adalah dua belas orang. Oleh karena itu, kumpulan hadits tersebut belakangan masih dikaji ulang dalam kitab-kitab Syiah. Kemudian pada tahun 328 H, baru ada kumpulan hadits yang Menjadi rujukan utama penulisan hadits pada masa berikutnya, yaitu kitab Al-Kafi karangan Al-Kulaini. (lihat: Ushul Mazhab Syiah,1/352)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penulisan hadits antara disiplin Ahlussunnah dengan Syiah terpaut masa yang begitu jauh. Dan usaha untuk menjaga kemurnian hadits sangat jauh berbeda dengan usaha yang dilakukan oleh ulama Ahlussunnah.
- Awal Mula Munculnya Ilmu Hadits
Perhatian terhadap disiplin ilmu hadits sebenarnya telah ada sejak RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Karena dalam Al-Qur’an, Allah menyuruh kaum muslimin untuk mengklarifikasi setiap kabar yang sampai kepadanya, memperhatikan integritas sang pembawa kabar dan tidak mengambil kesimpulan sebelum berita tersebut dipastikan kebenaraanya.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6)
Oleh karena para sahabat sangat memperhatikan masalah tersebut, dalam menyampaikan atau menerima suatu hadits mereka selalu berpedoman kepada dasar manhaj qur’ani yang melarang dusta, menolak kabar dari orang fasik, mensyaratkan integritas dalam penerimaan riwayat, larangan menyampaikan kabar dari orang dusta, menetapkan kebenaran suatu berita, dan lain sebagainya. (lihat: Nuruddin ‘Atar, As-Sunnah Mutaharah Wa Tahdiyat, hal: 9-28)
Kemudian pada generasi berikutnya disiplin ilmu tersebut juga belum terangkum dalam satu kajian khusus, namun para ulama telah menyebutkan beberapa poin ilmu hadits dalam kitab-kitab mereka. Misalnya Imam Syafi’i (w. 204 H), dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-Umm, beliau telah mencantumkan pembahasan tentang hukum berhujjah dengan sunnah, bagaimana status kabar ahad, menetapkan syarat pada perawi, dan lain sebagainya. Demikian juga dalam kitab-kitab lain yang ditulis pada masa tersebut.
Kemudian pada awal abad ke empat, muncul para ulama yang memberi perhatian khusus dalam ilmu hadits, mereka mulai menulis kitab khusus dalam disiplin ilmu hadits. Kitab pertama kali yang membahas ilmu hadits secara khusus adalah kitab Al-Muhadits Al-Fashil Baina Rawi Wal Wa’i, karangan Imam Al-Qadhi Abu Muhammad bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramharmudzi (w. 360 H). Kemudian setelah itu baru muncul kitab lain yang fokus pada kajian hadits dengan gaya bermacam-macam.
Sementara dalam literatur Syiah, kajian hadits belum muncul kecuali setelah berlalu beberapa abad setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Dan jika dikaji lebih lanjut, kajian hadits mereka lebih banyak meniru dan menjiplak dari kitab-kitab Ahlussunnah. Tokoh Syiah pertama kali yang membahas kajian tersebut adalah Zainuddin Al-Amili yang dijuluki dengan As-Syahid Ats-Tsani, terbunuh pada tahun 965 H.
Al-Hairi, salah satu tokoh Syiah berkata, “Di antara hal yang tidak dapat diragukan lagi adalah belum ada dari ulama kita yang menulis ilmu dirayah hadits sebelum As-Syahid Ats-Tsani, dan itu pun diambil dari ilmu orang awam (Ahlussunnah).” (Muqtabis Al-Atsar, 3/73)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa perhatian Syiah terhadap kebenaran suatu hadits baru muncul ketika banyak para ulama Ahlussunnah mengkritisi riwayat-riwayat mereka.
- Perbedaan dalam Penetapan Sanad dan Syarat Perawi
Ahlussunnah menetapkan bahwa syarat penerimaan hadits yang cukup mendasar adalah bersambungnya sanad sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian bersamaan dengan itu, seluruh perawi hadits tersebut juga harus adil, memiliki integritas, kuat hafalannya, tidak cacat moral atau menyampaikan hadits yang berselisih dengan orang yang lebih tsiqah(terpercaya) daripada yang syadz (tidak terpercaya).
Kajian tentang sanad mendapat perhatian khusus di mata para ulama. Suatu hadits akan tertolak jika sanadnya terputus atau perawinya bermasalah. Bahkan mereka menggolongkannya bagian dari agama ini. Ibnul Mubarak berkata, ”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka siapa pun akan sesuai dengan kehendaknya sendiri.” (Muqaddimah Shahih Muslim, 1/47)
Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah berkata, “Ilmu sanad dan riwayat merupakan keistimewaan yang Allah berikan kepada umat Muhammad. Allah menjadikannya sebagai tangga untuk mengetahui sesuatu. Dengan ilmu tersebut mereka dapat membedakan antara yang shahih dan yang berpenyakit (dhaif), yang bengkok dan yang lurus. Sedangkan Ahli kitab tidak memiliki sanad dalam menukilkan riwayat-riwayat mereka. Demikian pula ahli bid’ah dan kelompok yang sesat dari kalangan umat ini. Mereka menyampaikan ajaran mereka tanpa didasari dengan sanad, dan kepadanya mereka berpegang. Sehingga mereka tidak memisahkan antara yang benar dan yang batil.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatwa, 1/9)
Sementara itu Syiah meyakini bahwa mereka hanya mengakui riwayat dari ahlul bait. Akan tetapi mereka tidak memperhatikan sanad atau integritas para perawi layaknya Ahlussunnah. Sehingga hadits mereka penuh dengan kebohongan dan penyesatan. Walaupun belakangan ada beberapa tokoh mereka yang memperhatikan kajian sanad, namun motivasi tersebut tidak muncul dari keinginan untuk mengetahui shahih atau dhaif sebuah hadits, namun lebih karena kritikan tajam dari ulama Ahlussunnah. Ini sebagaimana yang disebutkan oleh ulama mereka, Al-Hurr Al-Amili:
“Manfaat penyebutan (sanad) adalah untuk membantah tuduhan orang awam—maksudnya Ahlussunnah—terhadap Syiah, bahwa hadits mereka tidak‘mu’an’an’ dan hanya sekedar dinukil begitu saja dari kitab-kitab para pendahulu mereka.”(Wasailu Syi’ah, 30/258)
Kemudian dalam kajiannya pun, mereka sangat longgar dalam menetapkan sebuah hadits yang layak disebut shahih. Bahkan mereka lebih mengedepankan kepercayaan rawi kepada sang imam (tausiq), tanpa memperhatikan sanad atau integritas sang pembawa hadits.
Abdullah Fayadh, salah satu ulama Syiah kontemporer berkata, “Sesungguhnya keyakinan akan kema’shuman para imam telah membuat hadits-hadits yang berasal dari mereka serta-merta menjadi shahih, tanpa harus mempersyaratkan adanya persambungan sanad sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang dipersyaratkan di kalangan Ahlussunnah.” (Abdullah Fayadh, Tarikh Imamiyah, hal. 140)
Al-Hurr Al-Amili mengatakan bahwa hadits shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang penganut Imamiyah yang adil dan kuat hapalannya di seluruh tingkatan periwayatan. Namun setelah menelisik kitab-kitab hadits seperti Al-Kafi, Tahdzib al-Ahkam, Man La Yadluruhu Al-Faqih, ia kemudian mengakui bahwa kriteria itu tidak bisa diberlakukan terhadap kitab-kitab tersebut. Jika hal itu diberlakukan, maka seluruh hadits Syiah tidak ada yang shahih karena ulama Syiah jarang sekali menyatakan status keadilan seorang perawi. Mereka hanya menyatakan status tauthiq (terpercaya), yang sama sekali tidak berarti perawi itu adil. Al-Amili menambahkan bahwa para ahli ilmu di kalangan mereka mengakui jika perawi Syiah tidak bisa dinilai adil, karena perawi yang dianggap kafir dan fasiq dimasukkan sebagai perawi terpercaya. (Wasa’il Syi’ah, 30/260)
Kemudian termasuk hal yang aneh juga adalah, mereka meyakini bahwa setiap perkataan imam pasti benar layaknya wahyu Allah Ta’ala. Sehingga jika menyampaikan hadits dari para imam, boleh berkata dengan, “Allah berfirman.”!!
Al-Mazindarani, pensyarah kitab Al-Kafi, berkata, “Tidak masalah siapa saja yang mendengar hadits dari Abu Abdillah—mengucapkan—bahwa dia meriwayatkan dari bapaknya atau dari salah satu kakeknya, bahkan boleh juga dia langsung berkata, Allah berfirman!!” (lihat: Syarh Ushul Al-Kafi, Muhammad Shalih Al-Mazindarani, 2/226)
- Panambahan dan Pengurangan Matan (kandungan hadits)
Imam Syiah membolehkan untuk menambah atau mengurangi isi matan hadits yang diriwayatkan dari mereka. Hal ini sebagaimana yang dinukil dari Al-Kulaini, disebutkan bahwa Muhammad bin Muslim berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah, bagaimana kalau saya mendengar dari Anda kemudian saya menambah dan mengurangi isinya? Dia berkata, “Jika kamu memang menghendaki maknanya maka tidak mengapa.”
Padahal dalam kajian Ahlussunnah, menambahkan atau mengurangi isi matan tidak diperbolehkan sama sekali. Karena jika dia sengaja menambah, maka termasuk berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau jika lupa atau terbukti salah, maka hadits yang diriwayatkan tersebut tidak boleh diterima.
Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang kepada siapakah ilmu itu diambil? Beliau berkata, “Dari seluruh manusia kecuali dari tiga golongan yaitu, pengikut hawa nafsu yang menyeru kepadanya, atau pendusta—dan karena tidak boleh mengambil ilmu darinya walaupun sedikit—atau dari seseorang yang sering melakukan kesalahan maka dia tertolak dan tidak boleh diterima.”(Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah, hal. 144)
- Perbedaan Dalam Memahami Kedudukan Para Sahabat
Menurut Ahlussunnah, seluruh para sahabat adalah adil, artinya mereka tidak pernah memiliki kesengajaan untuk melakukan dusta atas nama RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam, dikarenakan mereka telah disifati dengan sosok yang memiliki keimanan yang kuat, selalu bertakwa dan menjaga martabatnya serta memiliki moralitas yang tinggi. Sehingga setiap periwayatan hadits yang mereka ambil dari Nabi—baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits—layak diterima dan tidak boleh ditolak.
Sementara itu Syiah menilai bahwa para sahabat tidak semuanya adil, mereka sama sebagaimana manusia pada umumnya. Di antara mereka ada yang adil, ada yang munafik, ada yang fasik bahkan mayoritas mereka adalah murtad. Kecuali hanya tiga orang saja yang selamat dari kekufuran.
Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Raudhatul Kafi, Abu Ja’far berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi semuanya murtad kecuali tiga orang: Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi.” (Al-Kafi, 8/248)
Sehingga menurut mereka seluruh periwayatan para sahabat, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits, tertolak dan tidak boleh diterima karena status mereka tidak adil.
Padahal makna adil di sini bukan bermaksud menyatakan bahwa para sahabat lepas dari segala perbuatan maksiat, atau tidak pernah lupa dan salah, karena hal itu tidak pernah disebutkan oleh satu pun dari para ulama. Keadilan seluruh para sahabat adalah dasar yang harus dipegangi karena telah menyampaikan hadits nabi yang shahih kepada kita, mereka telah hidup bersama RasululullahShallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jika bukan karena mereka maka tidak mungkin hadits nabi sampai kepada kita. (lihat: Adz-Dzakqani, Manahilu Irvan,1/122)
Imam Asy-Syafi’i mengatakan, ”Seandainya yang dimaksud dengan adil(‘Adālah) adalah orang yang tidak memiliki dosa sama sekali maka kita tidak akan ditemukan seorang pun yang adil. Dan seandainya setiap orang yang berdosa adalah adil, maka kita tidak akan mendapati satu orang pun yangMajrūh (dicela kredibilitasnya), akan tetapi seorang yang adil adalah yang meninggalkan dosa-dosa besar, dan kebaikan-kebaikannya lebih banyak dari keburukannya.” (lihat: Al-Raudhu Al-Basim Fi Al-Dzab ‘An Sunnah Abi Al-Qosim, 1/ 55)
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perhatian Syiah terhadap hadits secara khusus belum ada ketika awal kemunculannya. Namun baru muncul setelah mendapat kritikan keras dari ulama Ahlussunnah, dan disiplin ilmu yang fokus mengkaji tentang sanad baru muncul setelah ada karangan dari Al-Amili (911-965 H). Sedangkan Ahlussunnah sudah menulis kitab yang fokus mengkaji tentang sanad sejak abad ke empat, yaitu kitab Almuhaddits Al-fashil baina Rawi wal Wa’i, karya Ramaharmudzi (w. 360 H). Jadi jarak masanya terpaut sekitar 600 tahun.
Selain itu, kajian sanadnya pun sangat jauh perbedaannya. Bagi Syiah dalam menilai keshahihan suatu hadits tidak perlu harus melihat sanadnya, apakah sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak, namun lebih mengutamakan aqidah kema’shuman Imamah. Sehingga wajar jika ulama mereka sendiri menyebutkan bahwa, jika kriteria hadits shahih diterapkan dalam kitab-kitab hadits mereka, maka tidak satu pun hadits mereka yang bernilai shahih. Wallahu a’lam bis shawab!
Penulis: Fahrudin
Post A Comment:
0 comments: