Syaihindonesia.com - Hadits ini adalah lafadz kedua dalam hadits ghadir khum.
At Tirmidzi meriwayatkan dari A‘masy dari ‘Athiyah dari Abu Sa’id, sedangkan dari jalur lain A’masy dari Habib bin Abi Tsabit dari Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu, keduanya berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang sekiranya kalian berpegang teguh dengannya, niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku, salah satu dari keduanya itu lebih besar dari yang lain, yaitu; Kitabullah adalah tali yang Allah dibentangkan dari langit ke bumi, dan ‘itrahku ahli baitku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang menemuiku di telaga, oleh karena itu perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sesudahku"[1]
Lafadz ini mengandung beberapa hal, diantaranya;
1) Penegasan bahwa Al Qur’an adalah petunjuk dan ia merupakan tali Allah yang paling kuat
2) Partisipasi Ahlulbait dalam memberikan petunjuk kepada manusia dan ini dijadikan tali Allah yang lebih kecil.
3) Penjelasan bahwa Ahlulbait dan Al Qur’an tidak akan pernah terpisah
4) Penegasan untuk terus memperhatikan kedua hal ini.
5) Yang tidak disebutkan dalam lafadz ini adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau ajarkan kepada manusia semasa hidupnya.
Kita cukupkan pada lima perkara
Pertama,riwayat diatas menguatkan bahwa Al Qur’an adalah petunjuk dan akan menjaga bagi siapa saja yang berpegang dengannya, ini benar dan tidak ada keraguan padanya. Allah berfirman;
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS Al Isra’: 9)
Kedua,klaim bahwa Ahlulbait semuanyaikut serta dalam memberikan hidayah, sebagaimana ditunjukkan oleh lafazh hadits diatas.
Tidak diragukan, bahwa tidak satupun dari ummat ini yang mengatakan demikian, baik Syi’ah Itsna Asyariyah maupun yang lain, sebab diantara Ahlulbait ada yang shalih dan ada yang sebaliknya, diantara mereka ada yang menjadi tokoh ulama, dan diantaranya ada yang tidak, sejarah telah membuktikan hal ini, maka bagaimana mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan sesuatu yang ditolak oleh ummat dan bertolak belakang dengan realita yang terjadi?
Jadi lafadz ini tidak bisa disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena jelas ketidak absahannya,sebab itu Syi’ah berupaya memutarbalikkan hadits ini untuk menghindaripermasalahan. Itulah beberapa contoh perubahan riwayat yang mereka lakukan demi mensinkronkan keyakinan mereka meskipun terlihat serampangan.
Hal ini juga menunjukkan bahwa Syiah tidak meyakini hadits, mereka hanya ingin membuat kaum musliminbingung, jika tidak demikian niscaya riwayat tersebut tidak bisa diterima dengan takwil yang memalingkan makna yang sebenarnya,kemudian mereka akan menerima atau menolaknya. Sedang kita jelas mengakui ketidak shahihan hadits diatas sehingga tidak ada yang perlu kita permasalahkan lagi.
Ketiga,klaim bahwa Ahlulbait dan Al Qur’an tidak akan terpisah
Riwayat ini menjelaskan bahwa Al Qur’an dan Ahlulbait tidak akan terpisah sampai hari kiamat, namun realita mendustakan dakwaan mereka. Siapakah hari ini yang disebut “ithrah” sebagaimana yang ditafsirkan Syiah? Sungguh keturunan mereka telah terputus, kemudian Syiah mulai menyandarkan kepada kelahiran seorang anak secara rahasia, kemudian anak ini bersembunyi, dan dialah Al Mahdi yang akan keluar di akhir zaman.
Bagimana Syiah sangat berlebih-lebihan terhadap Al Mahdi dan meninggalkan Al Qur’an dibelakangnya, jelas ini sangat bertentangan, sebab Al Qur’an masih ada ditengah-tengah manusia, sedangkan Al Mahdi telah melarikan diri?Bagaimana bisa kita meyakini seseorang yang melarikan diri?
Bagaimana bisa mereka menyatakan bahwa keduanya tidak akan terpisah,sementara saat ini keduanya telah terpisah, yang satu mengehilang sedang yang lain masih ada?Kenapa tsiqal ashghar (Ithrah) ini bersembunyi?
Inilah Tsiqal akbar(Al Qur’an) berada ditengah-tengah manusia dan tidak ada seorang pun yang mampu merubahnya, jelas bahwa ini adalah bentuk penjagaan Allah, kalau memang Allah tidak ingin memisahkan keduanya, kenapa Allah tidak menjaga “tsiqal ashghar”sebagaimana Dia menjaga “tsiqal akbar”, kemudian Dia meninggalkan “tsiqal ashghar” sendirian di padang pasir dan pegunungan? Apakah Allah lemah untuk menjaga “tsiqal ashghar”sebagaimana Allah menjaga “tsiqal akbar”? Bukankah yang menjaga“tsiqal akbar” adalah Allah?
At Tirmidzi meriwayatkan dari A‘masy dari ‘Athiyah dari Abu Sa’id, sedangkan dari jalur lain A’masy dari Habib bin Abi Tsabit dari Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu, keduanya berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang sekiranya kalian berpegang teguh dengannya, niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku, salah satu dari keduanya itu lebih besar dari yang lain, yaitu; Kitabullah adalah tali yang Allah dibentangkan dari langit ke bumi, dan ‘itrahku ahli baitku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang menemuiku di telaga, oleh karena itu perhatikanlah oleh kalian, apa yang kalian perbuat terhadap keduanya sesudahku"[1]
Lafadz ini mengandung beberapa hal, diantaranya;
1) Penegasan bahwa Al Qur’an adalah petunjuk dan ia merupakan tali Allah yang paling kuat
2) Partisipasi Ahlulbait dalam memberikan petunjuk kepada manusia dan ini dijadikan tali Allah yang lebih kecil.
3) Penjelasan bahwa Ahlulbait dan Al Qur’an tidak akan pernah terpisah
4) Penegasan untuk terus memperhatikan kedua hal ini.
5) Yang tidak disebutkan dalam lafadz ini adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau ajarkan kepada manusia semasa hidupnya.
Kita cukupkan pada lima perkara
Pertama,riwayat diatas menguatkan bahwa Al Qur’an adalah petunjuk dan akan menjaga bagi siapa saja yang berpegang dengannya, ini benar dan tidak ada keraguan padanya. Allah berfirman;
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS Al Isra’: 9)
Kedua,klaim bahwa Ahlulbait semuanyaikut serta dalam memberikan hidayah, sebagaimana ditunjukkan oleh lafazh hadits diatas.
Tidak diragukan, bahwa tidak satupun dari ummat ini yang mengatakan demikian, baik Syi’ah Itsna Asyariyah maupun yang lain, sebab diantara Ahlulbait ada yang shalih dan ada yang sebaliknya, diantara mereka ada yang menjadi tokoh ulama, dan diantaranya ada yang tidak, sejarah telah membuktikan hal ini, maka bagaimana mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan sesuatu yang ditolak oleh ummat dan bertolak belakang dengan realita yang terjadi?
Jadi lafadz ini tidak bisa disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena jelas ketidak absahannya,sebab itu Syi’ah berupaya memutarbalikkan hadits ini untuk menghindaripermasalahan. Itulah beberapa contoh perubahan riwayat yang mereka lakukan demi mensinkronkan keyakinan mereka meskipun terlihat serampangan.
Hal ini juga menunjukkan bahwa Syiah tidak meyakini hadits, mereka hanya ingin membuat kaum musliminbingung, jika tidak demikian niscaya riwayat tersebut tidak bisa diterima dengan takwil yang memalingkan makna yang sebenarnya,kemudian mereka akan menerima atau menolaknya. Sedang kita jelas mengakui ketidak shahihan hadits diatas sehingga tidak ada yang perlu kita permasalahkan lagi.
Ketiga,klaim bahwa Ahlulbait dan Al Qur’an tidak akan terpisah
Riwayat ini menjelaskan bahwa Al Qur’an dan Ahlulbait tidak akan terpisah sampai hari kiamat, namun realita mendustakan dakwaan mereka. Siapakah hari ini yang disebut “ithrah” sebagaimana yang ditafsirkan Syiah? Sungguh keturunan mereka telah terputus, kemudian Syiah mulai menyandarkan kepada kelahiran seorang anak secara rahasia, kemudian anak ini bersembunyi, dan dialah Al Mahdi yang akan keluar di akhir zaman.
Bagimana Syiah sangat berlebih-lebihan terhadap Al Mahdi dan meninggalkan Al Qur’an dibelakangnya, jelas ini sangat bertentangan, sebab Al Qur’an masih ada ditengah-tengah manusia, sedangkan Al Mahdi telah melarikan diri?Bagaimana bisa kita meyakini seseorang yang melarikan diri?
Bagaimana bisa mereka menyatakan bahwa keduanya tidak akan terpisah,sementara saat ini keduanya telah terpisah, yang satu mengehilang sedang yang lain masih ada?Kenapa tsiqal ashghar (Ithrah) ini bersembunyi?
Inilah Tsiqal akbar(Al Qur’an) berada ditengah-tengah manusia dan tidak ada seorang pun yang mampu merubahnya, jelas bahwa ini adalah bentuk penjagaan Allah, kalau memang Allah tidak ingin memisahkan keduanya, kenapa Allah tidak menjaga “tsiqal ashghar”sebagaimana Dia menjaga “tsiqal akbar”, kemudian Dia meninggalkan “tsiqal ashghar” sendirian di padang pasir dan pegunungan? Apakah Allah lemah untuk menjaga “tsiqal ashghar”sebagaimana Allah menjaga “tsiqal akbar”? Bukankah yang menjaga“tsiqal akbar” adalah Allah?
Bukankah Allah sangat mampu menjaga “tsiqal ashghar”sebagaimana Allah mampu menjaga “tsiqal akbar”? Lalu kenapa –jika kita hendak mengikuti keduanya– yang satunya dijaga sementara yang lainnya dibiarkan?
Jawabannya sangat jelas bagi mereka yang menginginkan kebenaran... Sebabnya adalah bahwa Allah hanya ingin manusia mengikuti“tsiqal akbar” (Al Qur’an), karena itu Allah akan menjaganya sebagai hujjah atas mereka, sementara dakwaan adanya “tsiqal ashghar” adalah dakwaan palsu.
Keempat,ketika Nabi mewasiatkan akan dua perkara tersebut, apakah maknanya kita dapat memahami tsiqal akbar saja ataukah tidak?
Jika kita dapat memahami tsiqal akbar saja, lalu apa gunanya tsiqal ashghar? Jika kita tidak dapat memahaminya, kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiyatkan kepada kita?
Kelima,kami dan kalian saat ini tanpa tsiqal ashghar, bukankah tanpanya kita saat ini mampu mengetahui yang benar dan yang salah?
Jika kalian jawab: “benar”
Maka kami jawab; “jika begitu, apa gunanya ada imam”
Jika kalian menjawab “tidak”,maka sejak ribuan tahun hingga sekarang, kalian adalah orang-orang yang tersesat. Cukuplah hal ini sebagai bukti batilnya aqidah yang kalian yakini.
Keenam,ada riwayat Syi’ah yang menyatakan bahwa “tsiqal akbar” (Al Qur’an)telah hilang sebelum“tsiqal ashghar”.
Riwayat-riwayat tersebut mengklaim bahwa Al Qur’an disembunyikan Ali bin Abi Thalib dari orang-orang sebelum tsiqal ashghar bersembunyi, jadi keduanya hingga saat ini masih tersembunyi!
Kami jawab;Bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepadanya ummatnya untuk berpegang teguh dengan seseorang yang nantinya akan tersembunyi?
Riwayat ini telah meruntuhkan agama dari dasarnya, sebab perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ummatnya untuk berpegang kepada yang tidak ada wujudnya sepanjang sejarah menunjukkan batilnya nubuwat beliau, dan beliau terlepas dari klaim semcam ini, sebab beliau hanya memerintahkan kepada Al Haq, karena beliau adalah Nabi yang berbicara berdasarkan wahyu.
Ketujuh,Bagaimana mungkin Allah membabani kita supaya berpegang kepada “Ithrah” sementara silsilahnya telah terputus sejak ratusan ribu tahun?
Jika benar Allah mewajibkan untuk berpegang teguh kepada seseorang yang dilahirkan kemudian menghilang, lalu bagimana mungkin Allah membebani hamba-Nya dan memerintahkan berpegang teguh terhadap imam yang hilang?
Mungkinkah sekarang ini kita hendak berpegang teguh terhadap “Ithrah”yang diwasiyatkan Nabishallallahu ‘alaihi wasallam seperti yang kalian dakwakan, lalu bagaimana caranya? Bahkan ummat yang hidupsejak ribuan tahun lalu tidak ada yang dapat berpegang dengan Ithrah!
Bahkan para imam tidak mendeklarasikan keimamahan mereka kepada manusia seperti yang kalian katakan, namun mereka hidup seperti manusia pada umumnya. Mereka tidak memilki kemampuan lebih yang menunjukkan keimamahan mereka, bahkan sebagian dari mereka memfatwakan fatwa batil karena takut terhadap dirinya sebagaimana riwayat-riwayatpalsu yang kalian dakwakan atas mereka, dan kami berlepas dari kedustaan-kedustaan tersebut.
Bagaimana kita akan berpegang kepada mereka,sementara mereka tidak mengakui keimamahan mereka dihadapan umat, bahkan mereka menyembunyikan keimamahn mereka lantaran khawatir terhadap diri mereka –seperti riwayat-riwayat yang kalian klaim-?
Kedelapan,riwayat diatas mengabaikan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau ajarkan kepada manusia sepanjang hayatnya, dan dalam riwayat ini beliau tidak mewasiatkan sunnahnya, padahal sunnah beliau merupakan penjelas bagi Al Qur’an.
Allah berfirman;
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada merekadan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl: 44)
Allah tidak mengatakan “agar kamu menerangkan pada Ahlulbait” bahkan Allah tidak mengatakan “agar kamu menerangkan kepada orang-orang muslim saja” namun Allah mengatakan “(agar kamu menerangkan) kepada umat manusia”,lalu bagaimanamungkin beliau mewasiatkan yang bukan ajaran yang beliau sampaikan selama kurang lebih dua puluh tiga tahun berdasarkan perintah Rabbnya? Ini hanyalah segi pandang dari orang yang memiliki tashawur yang rusak.
Kenapa Allah tidak mengatakan “agar kamu menerangkan pada Ahlulbait” dan agar mereka yang akan menyampaikannya kepada manusia?
Alangkah bagusnya penciptaan akal, kita memuji Allah atas kebenaran aqidah orang yang mengagungkanNya dan memuliakan rasul-Nya, tidak menuduh Allah karena tidak menjelaskan suatu perkara dan tidak menuduh rasulNya karena telah mengabaikan penjelasan.
Dengan analisa seperti ini, jelaslah kebatilan lafadz yang diklaim oleh Syiah dan jelas pula kebenaran lafadz sebelumnya.
Kesembilan,terakhir bahwa riwayat ini menunjukkan kebatilan dasar keimamahan menurut persaksian ulama Itsna Asyriyah sendiri.
Begitu halnya semua dalil yang digunakan oleh ahlu bid’ah,dalil itu akan berbalik membantah mereka sendiri, karena tali kebohongan sangatlah pendek, hal ini dijelaskan oleh lafadz “Al Ithrah” secara bahasa, kemudian kita akan menyebutkan perkataan para tokoh Syi’ah yang menunjukkan batilnya dalil keimamahan.
[1]Diriwayatkan oleh At Tirmidzi (3786), Ahmad dalam Musnad (11119), Abu Ya’la (1021), Al Hakim dalam Al Mustadrak (4576).
Sumber: Ahadits Istadalat biha asyiah al itsna 'asyariyah, karya Dr. Ahmad bin Sa'ad Hamdan Al-Ghamidi, cet. Dar ibnu Rajab
(nisyi/syiahindonesia.com)
Jawabannya sangat jelas bagi mereka yang menginginkan kebenaran... Sebabnya adalah bahwa Allah hanya ingin manusia mengikuti“tsiqal akbar” (Al Qur’an), karena itu Allah akan menjaganya sebagai hujjah atas mereka, sementara dakwaan adanya “tsiqal ashghar” adalah dakwaan palsu.
Keempat,ketika Nabi mewasiatkan akan dua perkara tersebut, apakah maknanya kita dapat memahami tsiqal akbar saja ataukah tidak?
Jika kita dapat memahami tsiqal akbar saja, lalu apa gunanya tsiqal ashghar? Jika kita tidak dapat memahaminya, kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiyatkan kepada kita?
Kelima,kami dan kalian saat ini tanpa tsiqal ashghar, bukankah tanpanya kita saat ini mampu mengetahui yang benar dan yang salah?
Jika kalian jawab: “benar”
Maka kami jawab; “jika begitu, apa gunanya ada imam”
Jika kalian menjawab “tidak”,maka sejak ribuan tahun hingga sekarang, kalian adalah orang-orang yang tersesat. Cukuplah hal ini sebagai bukti batilnya aqidah yang kalian yakini.
Keenam,ada riwayat Syi’ah yang menyatakan bahwa “tsiqal akbar” (Al Qur’an)telah hilang sebelum“tsiqal ashghar”.
Riwayat-riwayat tersebut mengklaim bahwa Al Qur’an disembunyikan Ali bin Abi Thalib dari orang-orang sebelum tsiqal ashghar bersembunyi, jadi keduanya hingga saat ini masih tersembunyi!
Kami jawab;Bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepadanya ummatnya untuk berpegang teguh dengan seseorang yang nantinya akan tersembunyi?
Riwayat ini telah meruntuhkan agama dari dasarnya, sebab perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ummatnya untuk berpegang kepada yang tidak ada wujudnya sepanjang sejarah menunjukkan batilnya nubuwat beliau, dan beliau terlepas dari klaim semcam ini, sebab beliau hanya memerintahkan kepada Al Haq, karena beliau adalah Nabi yang berbicara berdasarkan wahyu.
Ketujuh,Bagaimana mungkin Allah membabani kita supaya berpegang kepada “Ithrah” sementara silsilahnya telah terputus sejak ratusan ribu tahun?
Jika benar Allah mewajibkan untuk berpegang teguh kepada seseorang yang dilahirkan kemudian menghilang, lalu bagimana mungkin Allah membebani hamba-Nya dan memerintahkan berpegang teguh terhadap imam yang hilang?
Mungkinkah sekarang ini kita hendak berpegang teguh terhadap “Ithrah”yang diwasiyatkan Nabishallallahu ‘alaihi wasallam seperti yang kalian dakwakan, lalu bagaimana caranya? Bahkan ummat yang hidupsejak ribuan tahun lalu tidak ada yang dapat berpegang dengan Ithrah!
Bahkan para imam tidak mendeklarasikan keimamahan mereka kepada manusia seperti yang kalian katakan, namun mereka hidup seperti manusia pada umumnya. Mereka tidak memilki kemampuan lebih yang menunjukkan keimamahan mereka, bahkan sebagian dari mereka memfatwakan fatwa batil karena takut terhadap dirinya sebagaimana riwayat-riwayatpalsu yang kalian dakwakan atas mereka, dan kami berlepas dari kedustaan-kedustaan tersebut.
Bagaimana kita akan berpegang kepada mereka,sementara mereka tidak mengakui keimamahan mereka dihadapan umat, bahkan mereka menyembunyikan keimamahn mereka lantaran khawatir terhadap diri mereka –seperti riwayat-riwayat yang kalian klaim-?
Kedelapan,riwayat diatas mengabaikan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang beliau ajarkan kepada manusia sepanjang hayatnya, dan dalam riwayat ini beliau tidak mewasiatkan sunnahnya, padahal sunnah beliau merupakan penjelas bagi Al Qur’an.
Allah berfirman;
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada merekadan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl: 44)
Allah tidak mengatakan “agar kamu menerangkan pada Ahlulbait” bahkan Allah tidak mengatakan “agar kamu menerangkan kepada orang-orang muslim saja” namun Allah mengatakan “(agar kamu menerangkan) kepada umat manusia”,lalu bagaimanamungkin beliau mewasiatkan yang bukan ajaran yang beliau sampaikan selama kurang lebih dua puluh tiga tahun berdasarkan perintah Rabbnya? Ini hanyalah segi pandang dari orang yang memiliki tashawur yang rusak.
Kenapa Allah tidak mengatakan “agar kamu menerangkan pada Ahlulbait” dan agar mereka yang akan menyampaikannya kepada manusia?
Alangkah bagusnya penciptaan akal, kita memuji Allah atas kebenaran aqidah orang yang mengagungkanNya dan memuliakan rasul-Nya, tidak menuduh Allah karena tidak menjelaskan suatu perkara dan tidak menuduh rasulNya karena telah mengabaikan penjelasan.
Dengan analisa seperti ini, jelaslah kebatilan lafadz yang diklaim oleh Syiah dan jelas pula kebenaran lafadz sebelumnya.
Kesembilan,terakhir bahwa riwayat ini menunjukkan kebatilan dasar keimamahan menurut persaksian ulama Itsna Asyriyah sendiri.
Begitu halnya semua dalil yang digunakan oleh ahlu bid’ah,dalil itu akan berbalik membantah mereka sendiri, karena tali kebohongan sangatlah pendek, hal ini dijelaskan oleh lafadz “Al Ithrah” secara bahasa, kemudian kita akan menyebutkan perkataan para tokoh Syi’ah yang menunjukkan batilnya dalil keimamahan.
[1]Diriwayatkan oleh At Tirmidzi (3786), Ahmad dalam Musnad (11119), Abu Ya’la (1021), Al Hakim dalam Al Mustadrak (4576).
Sumber: Ahadits Istadalat biha asyiah al itsna 'asyariyah, karya Dr. Ahmad bin Sa'ad Hamdan Al-Ghamidi, cet. Dar ibnu Rajab
(nisyi/syiahindonesia.com)
Syiahindonesia.com - Artikel ini lanjutan dari artikel "Kritik Tafsir Hadits ‘Ithrah Versi Syiah; Runtuhnya Ajaran Ghadir Khum (Bag. 1)"
Makna “Al‘Ithrah” Secara Bahasa
Menurut pakar bahasa, kata “’Ithratu Rajuli” adalah anak keturunan saja, berdasarkan hal ini maka Ali bin Abi Thalib tidak termasuk dalam hadits diatas, sebab ia tidak termasuk keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena ia bukan anak keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Contoh lainnya dari perkataan para pakar bahasa dari ensiklopedi kamus bahasa terbesar sampai abad kesepuluh hijriyah yaitu “Lisanul Arab” dimana penulis menjelaskan secara detail makna diatas, begitu halnya ensiklopedi kamus bahasa terbesar yang datang setelahnya “Taaj Al Arus” yang menguatkan makna di atas.
Disebutkan bahwa “Al ‘Ihtrah” memiliki dua makna secara bahasa,pertama dari pakar bahasa, dan kedua dari yang menjelaskan hadits ini
Makna pertama disandarkan kepada bentuk jazm, dan kedua disebutkan dalam bentuk tamridhyaitu dengan lafadz yang menunjukkan bentuk tadh’if dalam bahasa, berikut bentuk perkataan beliaurahimahullah.
Beliau mengatakan dalam bentuk Al Mu’tamidah (makna yang disandarkan kepada bentuk jazm)
“Abu Ubaidah dan yang lainnya mengatakan;“’Ithratur Rajuli wa usratuhu wa fashilatuhu artinya adalah anak keturunan ke bawah.”
Ibnu Al Atsir berkata;“’Ithratur Rajuli (keluarga seseorang) lebih khusus dari kerabatnya.”
Ibnu Al‘Araby berkata; “Al ‘Ithrah adalah anak seseorang dan keturunannya yang berasal dari tulang sulbinya.” Ia juga mengatakan; “’Ithrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah anakFathimah alaihassalam”
Beliau mengatakan dalam bentuk tadh’if yang mengisyaratkan penolakan terhadap penafsiran ini
Diriwayatkan dari Abu Sa’id, ia berkata;“Al Ithrah adalah batang pohon.”Selanjutnya ia berkata;‘Ithrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abdul Mutthalib dan anak-anaknya.
Dikatakan juga bahwa ‘Ithrahnya adalahAhlubaitnya yang terdekat, mereka adalah anak-anaknya, Ali dan anak-anaknya.Ada juga yang mengatakan; ‘Ithrahnya adalah kerabat terdekat dan yang terjauh diantara mereka. Ada juga yang mengatakan; “’Ithrahnya seseorang adalah kerabatnya dari anak pamannya yang terdekat.”[1]
Ketika para pakar bahasa menyatakan bahwa makna “’Ithrah” adalah keturunannya saja, maka para tokoh Syi’ah telah memahaminya bahwa Ali bin Abi Thalib tidak trermasuk dalam cakupan hadits ini, sehingga mengharuskan adanya penafsiran dengan cara menghilangkan masalah ini meski masih terlihat serampangan,sehingga mereka membagi masalah ini menjadi dua pandangan yang keduanya justru membantah masalah Imamah.
Pertama,klaim bahwa ‘Ithrah adalah mereka yang berasal dari Bani Hasyim, diantaranya adalah paman-paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Ali termasuk di dalamnya.
Makna “Al‘Ithrah” Secara Bahasa
Menurut pakar bahasa, kata “’Ithratu Rajuli” adalah anak keturunan saja, berdasarkan hal ini maka Ali bin Abi Thalib tidak termasuk dalam hadits diatas, sebab ia tidak termasuk keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena ia bukan anak keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Contoh lainnya dari perkataan para pakar bahasa dari ensiklopedi kamus bahasa terbesar sampai abad kesepuluh hijriyah yaitu “Lisanul Arab” dimana penulis menjelaskan secara detail makna diatas, begitu halnya ensiklopedi kamus bahasa terbesar yang datang setelahnya “Taaj Al Arus” yang menguatkan makna di atas.
Disebutkan bahwa “Al ‘Ihtrah” memiliki dua makna secara bahasa,pertama dari pakar bahasa, dan kedua dari yang menjelaskan hadits ini
Makna pertama disandarkan kepada bentuk jazm, dan kedua disebutkan dalam bentuk tamridhyaitu dengan lafadz yang menunjukkan bentuk tadh’if dalam bahasa, berikut bentuk perkataan beliaurahimahullah.
Beliau mengatakan dalam bentuk Al Mu’tamidah (makna yang disandarkan kepada bentuk jazm)
“Abu Ubaidah dan yang lainnya mengatakan;“’Ithratur Rajuli wa usratuhu wa fashilatuhu artinya adalah anak keturunan ke bawah.”
Ibnu Al Atsir berkata;“’Ithratur Rajuli (keluarga seseorang) lebih khusus dari kerabatnya.”
Ibnu Al‘Araby berkata; “Al ‘Ithrah adalah anak seseorang dan keturunannya yang berasal dari tulang sulbinya.” Ia juga mengatakan; “’Ithrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah anakFathimah alaihassalam”
Beliau mengatakan dalam bentuk tadh’if yang mengisyaratkan penolakan terhadap penafsiran ini
Diriwayatkan dari Abu Sa’id, ia berkata;“Al Ithrah adalah batang pohon.”Selanjutnya ia berkata;‘Ithrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abdul Mutthalib dan anak-anaknya.
Dikatakan juga bahwa ‘Ithrahnya adalahAhlubaitnya yang terdekat, mereka adalah anak-anaknya, Ali dan anak-anaknya.Ada juga yang mengatakan; ‘Ithrahnya adalah kerabat terdekat dan yang terjauh diantara mereka. Ada juga yang mengatakan; “’Ithrahnya seseorang adalah kerabatnya dari anak pamannya yang terdekat.”[1]
Ketika para pakar bahasa menyatakan bahwa makna “’Ithrah” adalah keturunannya saja, maka para tokoh Syi’ah telah memahaminya bahwa Ali bin Abi Thalib tidak trermasuk dalam cakupan hadits ini, sehingga mengharuskan adanya penafsiran dengan cara menghilangkan masalah ini meski masih terlihat serampangan,sehingga mereka membagi masalah ini menjadi dua pandangan yang keduanya justru membantah masalah Imamah.
Pertama,klaim bahwa ‘Ithrah adalah mereka yang berasal dari Bani Hasyim, diantaranya adalah paman-paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Ali termasuk di dalamnya.
Akan tetapi hal ini membatalkan klaim mereka terhadap keimamahan Ali, karena perintahnya adalah mengikuti seluruh bani Hasyim, jadi tidak hanya ada dua belas imam yang mas’shum, namun seluruh Ahlulbait adalah ma’shum, dan ini tidak ada yang mengatakan satu pun dari mereka.
Al Mufid–salah seorang tokoh Syi’ah abad kelima hijriyah- dalam menjelaskan riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; “Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang sekiranya kalian berpegang teguh dengannya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu; Kitabullah dan ‘itrahku ahlibaitku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang menemuiku di telaga.” Dia berkata;“Semua Bani Hasyim adalah ‘Ithrahnya Nabishallallahu ‘alaihi wasallam dan ahlibaitnya.”[2]
Saya jawab;“Jika semua Bani Hasyim adalah ‘Ithrah beliau, tentunya tidak terhitung lagi yang menjadi imam.Karena mereka tidak berbicara keimamahan Bani hasyim, maka riwayat yang menyatakan keimamahan menjadi terbantahkan.
Kedua,takwil yang menyatakan bahwa Ali termasuk dalam cakupan hadits ini, karena Ali adalah Abu Al Ithrah, ini merupakan takwilan yang dipaksakan.
Setelah Al Majlisi menyebutkan hadits tentang makna ‘Ithrah, ia berkata: “Bila ada yang bertanya; seperti yang kalian kehendaki, semestinya Amirul Mukminin Ali bukan termasuk ‘Ithrah, karena makna ‘Ithrah hanya terbatas untuk anak dan keturunannya saja.”
Maka kami jawab; “Siapa diantara orang Syi’ah yang berpendapat demikian, mestinya ia mengatakan bahwa Amirul mukminin termasuk dari ‘Ithrah meskipun namanya tidak tercakup secara langsung, sebagaimana tidak disebutkannya nama anak secara langsung, karena Ali ‘alaihi salam adalah Abu Al ‘Ithrah, sayyid dan orang pilihannya. Meskipun tidak dicantumkan nama seseorang dalam cakupan hadits,namun ia tetap mendapatkan posisi dalam hadits.”[3]
Lihatlah saudaraku para pembaca sekalian, betapa lancangnya Al Majlisi mengatakan hal itu demi menarik simpati pengikutnya, dia mengatakan;“Meskipun namanya tidak tercakup secara langsung” maka ia harus dicantumkan ke dalam cakupan hadits meskipun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyebutkannya, inilah maksud perkataan Al Majlisi.
Seolah-olah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mampu menjelaskan maksud hadits diatas, sehingga perlu penjelasan dari Syi’ah.Ini adalah tuduhan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mampu menjelaskan hekekat agama dengan penjelasan yang pasti yang dapat menghilangkan perselisihan. Padahal Allah telah mengabarkan bahwa Dia telah mempercayakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjelaskan agama ini, dan tidak mungkin Allah mempercayakan penjelasan agama kepada orang yang tidak mampu menjelaskan seperti yang telah Allah percayakan kepada beliau, dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berlepas diri dari perkataan yang tidak benar ini.
Jika yang dimaksud adalah sebagian dari keturunannya, niscaya beliau akan menyebutkannya secara jelas, lalu kenapa beliau menyebutkan perkataan yang membutuhkan kepada penjelasan? –jika lafazh ini memang seperti itu- maka ini merupakan makna yang dimaksud, dan ini juga akan meruntuhkan dalil imamah dari dasarnya, namun makna seperti ini tidak benar dan makna yang lainnya juga tidak benar, karena ketidak abasahannya lafazh tersebut dari asalnya sebagaimana penjelasan yang lalu.
[1]Lisan Al ‘Arab (4/536)
[2]Al Masail Al Jarudiyah (hal. 40)
[3]Bihar Al Anwar (23/157,158)
Sumber: Ahadits Istadalat biha asyiah al itsna 'asyariyah, karya Dr. Ahmad bin Sa'ad Hamdan Al-Ghamidi, cet. Dar ibnu Rajab
Al Mufid–salah seorang tokoh Syi’ah abad kelima hijriyah- dalam menjelaskan riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; “Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kalian sesuatu yang sekiranya kalian berpegang teguh dengannya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu; Kitabullah dan ‘itrahku ahlibaitku, dan keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya datang menemuiku di telaga.” Dia berkata;“Semua Bani Hasyim adalah ‘Ithrahnya Nabishallallahu ‘alaihi wasallam dan ahlibaitnya.”[2]
Saya jawab;“Jika semua Bani Hasyim adalah ‘Ithrah beliau, tentunya tidak terhitung lagi yang menjadi imam.Karena mereka tidak berbicara keimamahan Bani hasyim, maka riwayat yang menyatakan keimamahan menjadi terbantahkan.
Kedua,takwil yang menyatakan bahwa Ali termasuk dalam cakupan hadits ini, karena Ali adalah Abu Al Ithrah, ini merupakan takwilan yang dipaksakan.
Setelah Al Majlisi menyebutkan hadits tentang makna ‘Ithrah, ia berkata: “Bila ada yang bertanya; seperti yang kalian kehendaki, semestinya Amirul Mukminin Ali bukan termasuk ‘Ithrah, karena makna ‘Ithrah hanya terbatas untuk anak dan keturunannya saja.”
Maka kami jawab; “Siapa diantara orang Syi’ah yang berpendapat demikian, mestinya ia mengatakan bahwa Amirul mukminin termasuk dari ‘Ithrah meskipun namanya tidak tercakup secara langsung, sebagaimana tidak disebutkannya nama anak secara langsung, karena Ali ‘alaihi salam adalah Abu Al ‘Ithrah, sayyid dan orang pilihannya. Meskipun tidak dicantumkan nama seseorang dalam cakupan hadits,namun ia tetap mendapatkan posisi dalam hadits.”[3]
Lihatlah saudaraku para pembaca sekalian, betapa lancangnya Al Majlisi mengatakan hal itu demi menarik simpati pengikutnya, dia mengatakan;“Meskipun namanya tidak tercakup secara langsung” maka ia harus dicantumkan ke dalam cakupan hadits meskipun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyebutkannya, inilah maksud perkataan Al Majlisi.
Seolah-olah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mampu menjelaskan maksud hadits diatas, sehingga perlu penjelasan dari Syi’ah.Ini adalah tuduhan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mampu menjelaskan hekekat agama dengan penjelasan yang pasti yang dapat menghilangkan perselisihan. Padahal Allah telah mengabarkan bahwa Dia telah mempercayakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjelaskan agama ini, dan tidak mungkin Allah mempercayakan penjelasan agama kepada orang yang tidak mampu menjelaskan seperti yang telah Allah percayakan kepada beliau, dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berlepas diri dari perkataan yang tidak benar ini.
Jika yang dimaksud adalah sebagian dari keturunannya, niscaya beliau akan menyebutkannya secara jelas, lalu kenapa beliau menyebutkan perkataan yang membutuhkan kepada penjelasan? –jika lafazh ini memang seperti itu- maka ini merupakan makna yang dimaksud, dan ini juga akan meruntuhkan dalil imamah dari dasarnya, namun makna seperti ini tidak benar dan makna yang lainnya juga tidak benar, karena ketidak abasahannya lafazh tersebut dari asalnya sebagaimana penjelasan yang lalu.
[1]Lisan Al ‘Arab (4/536)
[2]Al Masail Al Jarudiyah (hal. 40)
[3]Bihar Al Anwar (23/157,158)
Sumber: Ahadits Istadalat biha asyiah al itsna 'asyariyah, karya Dr. Ahmad bin Sa'ad Hamdan Al-Ghamidi, cet. Dar ibnu Rajab
Post A Comment:
0 comments: