Islam adalah agama sempurna, agama keselamatan, agama mulia yang ummatnya berpegang teguh pada dua wasiat, yaitu kitabulloh (al-Qur’an) dan sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam (al-hadits). Atas kuasaNya, di negeri-negeri yang mayoritas katholik atau yahudi pun, selalu ada ummat islam berkecimpung dan berprestasi disana.
Demikian pula di kota Krakow, dan kota kecil lainnya di Polandia, jumlah ummat islam (baik pendatang, maupun muallaf) selalu meningkat. Allahu Akbar!
Muslimah muallaf di Krakow sempat syok tatkala menyaksikan budaya ‘memukuli diri sendiri’ di sebuah stasiun televisi eropa, yang mana mc-nya berkata, “Inilah budaya islam di negeri ini….” Ia dan mamanya saling berpandangan. Sang mama histeris dan langsung terjadi perdebatan sengit, mamanya tidak terima jika suatu hari kelak, si anak ikutan tradisi sedemikian.
Sister kita itu baru beberapa bulan memeluk islam. Dengan air mata berlinang, ia mencari informasi tentang tradisi yang ditontonnya barusan. Semalaman dia bingung, bertanya ke sister atau teman muslim lainnya, namun email tak segera berbalas. Sampai pada website yang memberinya informasi bahwa tradisi itu dilakukan oleh kaum syi’ah.
Sejak saat itu, dia jadi punya ‘kebiasaan baru’, kalau berkenalan dengan orang Islam, ia bertanya, “Kamu sunni atau syi’ah…?” Sister ini malah tertawa sendiri, “Is it funny, right?”
Saya pun meyakinkannya, “Muslim yah muslim, dear… Syi’ah lain, bukan Islam…” banyak muallaf muslimah yang terkecoh, mereka ada yang dinikahi secara mut’ah oleh kaum syi’ah, namun tatkala ‘memamerkan’ hubungan pernikahan itu, mereka mengatas-namakan “pernikahan islami”. Sungguh hal ini fitnah yang keji.
Ketika suatu hari naik taxy, saya tak menyangka pula bahwa si sopir mengetahui tentang hal ini. “Are you sunni, or syi’ah?” katanya dengan muka antusias seraya memperhatikan bayiku. Subhanalloh, saya terperanjat, dia satu-satunya sopir taxy yang bertanya seperti itu. Biasanya sopir taxy yang baru kenalan, menanyakan seperti ini, “You are Malaysian? Or Kazakhtan, Pani?” melihat identitas hijab muslimah yang kupakai.
Maka saat ditanya apakah syi’ah or sunni, ada rasa miris dan sedikit kesal, karena yang kutahu, Syi’ah bukanlah ajaran islam! Sehingga saya jawab, “I’m muslim…”
Supir taxy mengajak berdebat, “Yes… I know, muslim…there are two part, sunni, and syi’ah, right?” “No.” jawabku. “What?! I have a lot of friends, Pani… From Iran, from Libya, Lebanon, etc… I know that’s different, sunni is sunni, syi’ah is syi’ah…” sesekali ia menolehkan wajah seraya tetap menyetir taxynya. Dialeknya tampak kasar.
“Muslim is muslim. Syi’ah is syi’ah, different, Pana…” ujarku lagi. “Hmmm, so, you are sunni…right…?” dia menyimpulkan sendiri, dan saya berharap tidak menaiki taxynya lagi.
Ternyata kaum syi’ah memang ramai menghuni Eropa, termasuk di Polandia. Beberapa sisters yang memperkenalkan teman ‘muallaf’ lainnya pun, ketika semakin akrab, kuketahui bahwa teman tersebut adalah syi’ah. Biasanya mereka menjadi syi’ah karena pernikahan kontrak tadi. Bahkan menurut sister Aisha, ada lelaki syi’ah yang pernah menawarinya untuk ‘menikah dalam masa dua minggu’ saja, astaghfirrulloh, pelecehan!
Di saat masjid Krakow baru diresmikan, ada tiga pemilik restoran yang didatangi oleh Doctor Hayssam. Ketiga orang itu ternyata syi’ah. Dua di anatara mereka enggan memberikan donasi untuk Islamic Centre. Satu orang syi’ah memberi bantuan dana sewa, sambil berkata, “Kami (yang syi’ah) boleh juga ke masjid, dan berceramah?” Lantas brother Hayssam bertanya kepada Abu Azzam dan mempersilakan Abu Azzam untuk menjawabnya, “Please, answer, brother Sheikh…” katanya.
Abu Azzam menegaskan, “Tentu boleh sholat disana, Islamic Centre kan terbuka untuk siapa saja yang merindukan ukhuwah islamiyah, atau pun yang ingin berinteraksi dengan ummat islam… kaum syi’ah, kalau mau datang, yah silakan datang dan sholat. Tapi tidak boleh berceramah dan tidak bisa menjadi imam.” Brother Hayssam mengangguk setuju, pemilik restoran itu berusaha memahami, ia bercerita bahwa di tanah airnya, banyak masjid yang dipergunakan bersama oleh syi’ah dan umat muslim lain.
Dalam praktek keseharian, brothers di Krakow membiarkan teman syi’ah mengikuti sholat berjama’ah, namun tidak menerima mereka sebagai imam sholat. Pernah suatu waktu saya dan sisters sedang berada di masjid, dan waktu sholat ashar telah tiba. Seorang brother masuk ke tempat wudhu, salah satu sister berkata, “Nanti sholat berjama’ah yah brother…”
Ternyata dia menjawab, “Hmmm, but I’m syi’ah….” Sister pun menjawab, “Ooh, okay… thanks…” dan kami sholat berjamaah (bersama sisters saja).
Biasanya kaum syi’ah yang ikutan sholat di masjid Krakow, melaksanakan sholat lagi dengan gaya berbeda, ada bacaan-bacaan dzikir khusus (yang belum pernah kami dengar sebelumnya). Mereka juga tidak mengharuskan ‘sholat lima waktu’. Namun dengan kelemah-lembutan mereka, biasanya mereka tetap teguh mengatakan “I’m muslim too…”
Beberapa bulan yang lalu, hadir pula masjid lainnya di Krakow, masjid khusus Syi’ah, lokasinya tak jauh dari halte Nowy Kleparz.
Alhamdulillah dengan kedewasaan diri, muallaf Krakow dan orang-orang Poland secara umum dapat membedakan ajaran Syi’ah dengan ajaran Islam yang murni. Setidaknya dalam level yang paling ‘tidak mengerti’ pun, mereka membedakan dengan istilah Muslim Sunni dan Syi’ah.
Sedangkan ketika kami berada di Kuwait ini, ternyata ada tempat-tempat yang memiliki dua bangunan masjid berdampingan—yang satu masjid ummat muslim, yang satunya lagi adalah tempat ibadah buat Syi’ah. Muslimah biasanya memakai hijab berwarna hitam, coklat tua, atau warna gelap lainnya. Wanita syi’ah bercirikan memakai kerudung bermotif, warna-warni pakaian yang mencolok.
Teriring do’a semoga mereka segera bertaubat, memperoleh hidayahNya dan dapat memperbaiki nama baik kaum muslimin. Sungguh banyak berseliweran info yang salah, ragam fitnah, dari sikap dan prilaku kaum syi’ah ini. Hal itu tak hanya membahayakan generasi muda islam, namun juga menjadi info bias buat para muallaf, serta masyarakat secara umum. Hasbunalloh wani’mal wakiil…
(@bidadari_azzam, Sya’ban 1434)
Post A Comment:
0 comments: