Oleh, Ilham Kadir
Catatan atas “Seminar Internasional Persatuan Umat Islam Dunia” di UMI, 5 Nop. 2012
Peran sentral Imam Khomeini (1900-1989 M) terhadap Revolusi Iran tahun 1979 menginspirasi aktivis Islam di belahan dunia, sekaligus menyingkap intrik-intrik politik Khomeini untuk internasionalisasi Syiah yang ambisius. Strategi dan perencanaannya sangat politis, namun tetap ideologis. Ambisinya boleh dikata melebihi batas-batas ajaran Syiah.
Dia menegaskan, revolusi yang ia gerakkan bukan sekadar revolusi lokalitas Syiah Iran, namun mencitrakan Republik Iran sebagai pusat global Islam. Ambisinya bukan sekadar menjadikan dirinya pemimpin tertinggi Iran, atau pempimpin kaum Syiah di dunia, tapi juga memimpikan semua elemen dunia mengakuinya sebagai pemimpin tertinggi. Mimpi politis ini digerakkan oleh tuntutan ideologis dengan konsep imamah-nya.
Vali Nasr, intelektual muda Syiah yang moderat dalam bukunya Shiah Revival (edisi Indonesia “Kebangkitan Syiah, Islam, Konflik dan Masa Depan”) membedah kondisi di dalam internal Revolusi 1979. Khomeini sesungguhnya sadar, betapa sulit untuk dapat diterima sebagai pemimpin Islam di kalangan Sunni. Meski momentumnya cukup tepat, di saat kaum Muslimin merindukan kejayaan karena keterpurukan mereka di bawah bayang-bayang imperialism Barat. Namun, Sunni yang sekian lama dalam sejarah menjadi rival teologi dan politik tidaklah mudah diajak dalam satu garis pengendalian politik. Maka, dagangan politik yang ditawarkan adalah mencitrakan Iran sebagai pengawal terdepan revolusi Islam dunia. Tapi kaum Sunni tidak membelinya
Khomeini akhirnya membuat trobosan lain. Ia memusatkan pada isu-isu konfrontasi sekularisme dan Barat, daripada menggugat seputar agama yang lebih memungkinkan terjadinya perpecahan. Dua langkah ditempuh. Mencitrakan diri sebagai ikon penentang sekularisme, Barat dan lebih anti-Israel daripada Barat, dan fokus pada gerakan Islam tentang perlawanan terhadap orang luar. Vali memandang, ambisi Khomeini tersebut dalam rangka agar diterima sebagai pemimpin Muslim dunia, serta menyatukan Syiah dan Sunni di bawah jubahnya.
Gagasan demi gagasan diupayakan agar terjalin kesepahaman antar Suni dan Syiah demi menghadapi musuh bersama. Sekularisme, penjajahan, dan Israil. Satu di antara gagasan itu yang hingga kini tak henti-hentinya dilaksanakan adalah pendekatan dan persepahaman antara Sunni-Syiah, Taqrib baynal madzahib.
Intrafaith
Dua puluh tahun lebih pasca wafatnya Khomeini, pendekatan antarmazhab yang dalam istilah Prof. Din Syamsuddin ‘intrafaith’ atau dialog internal sesama pemeluk agama Islam, lebih jelasnya Sunni-Syiah terus berjalin dan berjalan.
Senin, 5 Nopember 2012, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar bekerja sama dengan Kedutaan Besar Republik Islam Iran, mengadakan seminar internasional dengan tema “Persatuan Umat Islam Dunia [Internatonal Seminar of Islamic World Unity]” di Auditorium Al-Jibra Kampus II UMI.
Para narasumber dari seminar di atas pun sangat representative, dari pihak pemerintah diwakili oleh Wakil Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA., dari kelompok Nahdatul Ulama diwakili oleh mantan ketuanya selama dua priode, Dr. KH. Hasyim Muzadi, dari golongan Muhammadiyah diwakili oleh Ketua Umum Muhammadiyah saat ini, Dr. KH. Din Syamsuddin, dari Majelis Ulama Pusat, ada sang motor penggerak persaudaraan Sunni-Syiah, Prof. Dr. Umar Shihab, MA., dari pihak Syiah sendiri terdapat Sekjen Majma’ Taqrib Baynal Madzahib, Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri, ulama Sunni yang menjadi Penasihat Presiden Republik Islam Iran, Syekh Maulawi Ishak Madani, dan Dr. Mazaheri. Seminar tersebut juga dihadiri oleh Dubes Iran untuk Indonesia Mahmoud Farazandeh. Tampil pula Prof. Dr. Ghalib MA, Wakor Kopertis Wilayah VII sebagai pembicara yang mungkin saja menjadi repsentasi dari segenap cendekiawan lokal.
Nama-nama yang tercantum di atas secara umum menyerukan persatuan sebagaimana tema seminar itu sendiri, karena tanpa persatuan umat akan lemah dan tidak bisa berbuat banyak. “al-Ittihadu quwwah” persatuan adalah sebuah kekuatan, kata orang Arab, Bersatu kita teguh dan bercerai kita runtuh, begitu pepatah Melayu berbunyi.
Nasaruddin Umar, misalnya, mengutip sebuah perkataan, “Orang yang sering menyalahkan orang lain adalah orang yang sedang belajar, tapi orang yang tidak mau menyalahkan orang lain adalah orang yang telah khatam belajar!” Begitu kata Wamenag RI.
Dubes Iran, dalam kata sambutannya juga mengajak para peserta untuk bercermin pada ritual Haji. Para hujjaj mengenakan baju dengan warna yang sama, salat di masjid yang sama, menghadap pada kiblat yang sama, serta bersama-sama bertawaf di sekeliling kakbah, dan inilah contoh kongkrit bahwa pada dasarnya umat Islam itu memiliki persamaan yang sangat esensial.
Ada pun Prof. Din Syamsuddin, memandang pentingnya persatuan Sunni-Syiah, karena umat Islam saat ini berada dalam kubang keterbelakngan, hanya sibuk menyalahkan satu dengan lainnya, dan mengklaim hanya dirinyalah yang benar lalu tidak mau menerima kebenaran orang lain. Orang-orang seperti ini, menurut Ketua Muhammadiyah ini nanti akan menjadi orang kecele di surga. Mereka meyakini kalau hanya dirinyalah yang menjadi penghuni surga, tapi setelah masuk di dalamnya, ternyata mereka yang ia anggap masuk neraka juga berada di surga. Selain itu faktor lain yang begitu urgen untuk bersatu adalah, Negara-negara Islam memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai, Sumber Daya Nilai (SDN) yang khas, dan juga memiliki Sumber Daya Sejarah (SDS) yang gemilang, yang pernah mencetak ilmuan-ilmuan ulung dan kelak mendorong Barat pada abad ke-17 melakukan revolusi industri.
Seminar internasional di atas mengeluarkan rekomendasi sebaimana termaktub di bawah ini: Setelah melakukan seminar internasional dengan tema “ISLAMIC WORLD UNITY (Persatuan Umat Islam Dunia)”, dengan ini seminar merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Bahwa hendaknya umat Islam di berbagai belahan bumi dengan penuh kesadaran terus membangun dan menjaga persaudaraan sebagai sesama umat Islam dengan menampilkan Islam yang damai dan penuh kasih sayang;
2. Bahwa umat Islam yang menurut realitasnya terdiri atas penganut beberapa  mazhab hendaknya tidak menjadikan perbedaan mazhab sebagai kendala atau hambatan untuk menjalin ukhuwah islamiah dan kerjasama dalam berbagai kegiatan keduniaan dan keagamaan;
3. Bahwa merujuk pada Deklarasi Amman atau  The Amman Message (9-11-2004) yang dideklarasikan bersama oleh 200 ulama dari lebih 50 negara, yang dikukuhkan kembali oleh pernyataan bersama lebih dari 500 ulama dan cendekiawan Islam dari seluruh dunia pada tahun 2006, yang menyatakan bahwa Siapapun pengikut salah satu dari empat mazhab hukum Islam Suni (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali), dua mazhab hukum Islam Syiah (Ja’fari dan Zaidi), mazhab hukum Islam Ibadhi serta mazhab hukum Islam Zahiri adalah seorang Muslim. Maka hendaknya umat Islam dengan mazhab-mazhab yang disebutkan di atas semakin memperkokoh ukhuwah Islamiahuntuk menunjukkan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin;
4. Bahwa umat Islam Indonesia  dari berbagai mazhab hendaknya dapat menjadi role model bagi umat Islam dunia, yang dapat saling menerima untuk hidup berdampingan dalam ikatan persaudaraan yang kuat;
5. Ormas dan lembaga-lembaga keislaman serta para da’i, muballig dan cendekiawan muslim agar mengambil peran aktif untuk selalu mengupayakan kokohnya persaudaraan Islam, dan menghindari dakwah yang berakibat lemahnya ukhuwah Islamiyah,
6. Pemerintah diharapkan ikut menciptakan iklim yang kondusip bagi terwujudnya persaudaraan diantara penganut berbagai mazhab dalam Islam dan persaudaraan diantara sesama pemeluk agama, dan
7. Agar perbedaan (ikhtilaf) di kalangan umat Islam disikapi dengan mendahulukan etika dan akhlaqul karimah demi kemaslahatan umat.
Rekomendasi tersebut di atas telah disetujui dan ditandatangani oleh beberapa tokoh yang dianggap muktabar juga ikut bergabung dalam mewujudkan, mendukung, dan menjadi pemateri dalam seminar. Tokoh-tokoh yang dimaksud adalah: Prof.Dr.H.Nasaruddin Umar, MA. (Wakil Menteri Agama R.I); Grand Ayatollah Syekh Muhammad Ali Taskhiri. (Presiden of High Council of Islamic School of Thought); Syekh Maulawi Ishaq Madani. (Advisor to the Presiden of the Islamic Republic of Iran For Ahlussunnah Wal-Jamaah); Dr.Mazaheri (Deputy of open University of The Islamic Republic of Iran); Prof.Dr.KH.Umar Shihab,MA. (Ketua MUI Pusat); Prof.Dr.KH.Din Syamsuddin,MA. (Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah); Prof.Dr.KH. Hasyim Muzadi, MA. (Presiden  Ikatan Cendekiawan Muslim Dunia); Prof.Dr.H.M.Ghalib,MA. (Wakil Koordinator Kopertais Wil.VIII); H.Muh.Mokhtar Noer Jaya. (Ketua Pengurus Yayasan Wakaf UMI), dan Prof.Dr.Hj.Masrurah Mokhtar, MA. (Rektor UMI).
Utopia
Dapat dikatakan bahwa gagasan-gagasan Imam Khomeini mendapat respon positif dari segala penjuru dunia Islam, termasuk Arab Saudi –yang sebelumnya menjadi rival dalam teologi dan politik- dalam hal pendekatan antarmazhab, atau lebih khusus lagi, mendapat pengakuan pada dunia Islam bahwa Syiah (dalam segi fikih Ja’fariyah dan Zaidiyah) adalah bagian dari mazhab dari sekian mazhab yang ada. Sebagaimana yang termaktub dalam Risalah Amman.
Lebih spesifik lagi, Khomeini dengan Republik Islam Iran-nya telah berada di garda terdepan dalam melawan sekularisme (pemisahan antara Negara dan agama), Barat (kolonialisme), dan Israil sebagai musuh bersama umat Islam.
Efek dari pada itu semua, maka secara politis Iran sudah dapat diterima di belahan bumi mana pun di dunia Islam, termasuk Indonesia. Kerja sama demi kerja sama terajut dengan baik, termasuk pertukaran antarpelajar dan pemberian beasiswa bagi mahasiswa Indonesia yang haus akan ilmu secara besar-besaran ke Iran. Dapat ditebak hasilnya, Syiah dengan begitu cepatnya berkembang di Negara-negara yang berpenghuni Sunni.
Namun sayang, keberhasilan Iran memasarkan Syiah di penjuru negara Sunni tidak diiringi dengan etika ‘antipolemic’ dengan Sunni. Di antara polemik yang sering terjadi adalah ketidak mampuan Syiah bersikap toleran terhadap Sunni yang sangat memuliakan para Sahabat Rasulullah. Mereka tetap menganggap bahwa pasca wafatnya Nabi Muhammad para sahabat Murtad minus Ahlul Bait. Dari sinilah akar masalah itu timbul, karena pemahaman Ahlussunnah, jika para sahabat nabi yang notabene-nya adalah mata rantai utama transmissi agama ini dianggap murtad maka kita semua adalah murtad karena mengambil agama dari orang-orang murtad.
Simak dan perhatikanlah redaksi doa orang-orang Syiah di bawah ini yang sedang bermohon kepada Allah untuk melaknat Khalifah Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma,  serta para penyokong kedua khalifah agung itu:
“Wahai Allah, laknatlah mereka dengan seluruh ayat yang telah mereka rubah, hukum yang telah mereka tinggalkan dan sunnah yang telah mereka rubah…Wahai Allah, laknatlah mereka berdua di tempat tersembunyi dan tempat terbuka dengan laknat yang besar…selama-lamanya, terus-menerus yang tidak bisa terputus waktunya dan tidak akan habis hitungannya dengan laknat yang akan berbalik laknat yang pertamanya dan tidak akan terputus laknat yang terakhirnya…(terus bersambung). Wahai Allah, laknatlah mereka dan juga  para pecintanya, kaum muslimin dan orang-orang yang pro kepada mereka…Juga orang-orang yang menyambung lidah argumen mereka dan orang-orang yang meniru ucapan mereka, orang-orang yang membenarkan hukum mereka.” (Ucapkanlah sebanyak 4X, “Wahai Allah, adzablah mereka dengan adzab yang penduduk neraka saja berlindung dari adzab tersebut…Aamiin wahai Rabb seluruh alam semesta).
Jangankan Sahabat, Rasulullah sebagai manusia paling mulia ciptaaan Allah saja dituduh melakukan hubungan seksual yang menyimpang dengan orang-orang Musyrik, berikut petikan dari terjemahannya, “Sesungguhnya Nabi dan keluarganya pasti akan masuk neraka kemaluannya, disebabkan menggauli wanita-wanita Musyrik –yang dimaksud adalah Aisyah  dan Hafsah.” (Kasyful Asrar wa Tabriatul Aimmah al Athar, hal. 24-25).
Dalam pandangan Al-Qadhawi, ada beberapa golongan Syiah yang pada dasarnya bukan saja dicap sebagai aliran yang ‘sesat’ tapi sudah keluar dari agama Islam itu sendiri, kharij ‘an millah berikut contoh kecilnya:
Ni’matullah Al-Jazairi (wafat 1212 H) di dalam kitab Al-Anwar An-Nu’maniyyah menulis tentang Ahlu Sunnah wal Jama’ah, ”Sesungguhnya kami tidak bisa bertemu dengan mereka (Ahlu Sunnah) di dalam satu tuhan dan tidak dalam satu nabi dan satu imam. Hal ini dikarenakan mereka (Ahlu Sunnah) berkata, ”Sesungguhnya Rabb mereka adalah yang Muhammad sebagai nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai khalifahnya. Akan tetapi kami tidak mengatakan dengan tuhan ini dan tidak juga dengan nabi itu. Akan tetapi kami mengatakan, ”Sesungguhnya tuhan yang khalifahnya (yang benar: Khalifah nabinya) adalah Abu Bakar adalah bukan tuhan kami dan nabi itu juga bukan nabi kami.” (Al-Anwar An-Nu’maniyah jilid 2 hal. 279, cetakan Yayasan Al-A’lami Beirut Libanon).
Apabila mayoritas Ahlu Sunnah di dalam akidah memakai mazhab Asya’irah sebagaimana maklum, dengan mengikuti Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) yang sangat terkenal, maka sesungguhnya madzhab Asya’irah di dalam pandangan orang-orang Syi’ah sebagaimana yang digambarkan oleh Syaikh Al-Jazairi bahwa Asy’ari tidak mengenal tuhan secara benar. Karena dia dan para pengikutnya mengenal tuhan dengan cara yang salah. Oleh karena itu, tidak ada perbedaannya antara pemahaman mereka (Asy’ariyyah) dengan pemahaman orang-orang kafir.  Karena Asy’ari dan para pengikutnya figur paling buruk dalam masalah mengenal Sang Pencipta, dibandingkan dengan orang-orang musyrik dan nashara. Kami (orang-orang Syi’ah) telah benar-benar jauh dan berpisah dari mereka (pengikut Asy’ari) di dalam masalah rububiyyah. Karena tuhan kami (Syi’ah) adalah Dzat yang mempunyai sifat azali sedangkan rabb mereka (Ahlu Sunnah) adalah rabb yang sifat azali-Nya ada delapan buah! (Al-Imam Yusuf al-Qardhawi,  Min Hadyil Islam, Fatawa Mu’ashirah, 2009).
Selain itu, hal  yang  rasis dan paling konyol dalam akidah Syiah adalah, adanya doktrin ‘Thinah’ (thinat al-mu’min wa al-kafir) sebuah doktrin  yang menyatakan bahwa dalam penciptaan manusia ada unsure tanah putih sedangkan Ahlussunnah berasal dari tanah hitam. Para pengikut Syiah yang tersusun dari tanah putih jika melakukan perbuatan maksiat dosanya akan ditimpakan kepada pengikut Ahlussunnah (yang tersusun dari tanah hitam) sebaliknya pahala yang dimiliki oleh pengikut Ahlussunnah akan diberikan kepada para pengikut Syiah. Doktrin ini merupakan doktrin yang tersembunyi dalam ajaran Syiah. (al-Kafi Juz II, Kitab al-Imam, bab ‘thinat al-mu’min wa al-kafir).
Kita sepakat bahwa era ini adalah era dialogis, bukan lagi konfrontasi fisik, namun dialog dan musyawarah yang dibangun hendaklah melahikan win win solution, sama-sama merasa menang. Jika satu pihak saja diuntungkan, tentu perdamaian hanya utopia belaka. Sebagaimana pandangan ulama besar kontemporer saat ini, Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, bahwa at-Taqrib baynal Madzahib yang selalu diagagas dan dilakukan orang Syiah hanyalah pendekatan dari pihak Sunni ke Syiah, tidak sebaliknya, tidak pula kedua-duanya, mereka selalu ingin diterima dan dimenegerti, namun di lain pihak mereka tidak pernah memahami Sunni secara utuh. Sehingga  hasilnya tidak pernah maksimal. Ibarat buih,  muncul dan tenggelam tanpa sebarang manfaat. Juga sebagaimana penegasan Ketua Rabithah Ulama Lil Musminin, Prof. Dr. Amin Al-Hajj Muhammad Ahmad, “Ajakan pendekatan kepada Syiah adalah pengkhianatan yang keji, dosa besar, dan kelalaian yang fatal.”
Konklusi
Melihat, menelaah, mencermati, lalu tabayyun terhadap acara seminar Internasional di atas, maka penulis memberikan beberapa catatan yang ‘mungkin’ menjadi penawar bagi para pembaca. Terlepas objektif tidaknya, setiap orang berhak mengeluarkan pendapat, termasuk penulis. Berikut catatannya:
Pertama, seminar internasional yang bertajuk “ISLAMIC WORLD UNITY [Persatuan Umat Islam Dunia]” adalah sangat tidak layak disebut ‘Seminar Internasional’ karena para nara sumber tak satu pun yang menulis makalah lalu membagikan kepada segenap peserta, hal yang tak lazim dalam sebuah seminar. Pengalaman penulis menjadi mahasiswa Program Pascasarjana UMI, menunjukkan bahwa setiap pertemuan harus ada seminar, dan seminar tanpa makalah adalah ‘omong kosong’ alias ‘nonsens’, bagaimana dengan seminar Internasional di atas? Layakkah disebut seminar? Tentu tidak! Hanya layak disebut “Obrolan Warung Kopi Internasional”.
Kedua, tujuh (7) poin rekomendasi yang dikeluarkan dalam seminar tersebut terlihat sangat gegabah, dan tergesa-gesa, bahkan boleh jadi rekomendasi tersebut adalah sebuah pesanan. Betapa tidak, sebuah acara seminar yang hanya diwakili oleh beberapa tokoh nasional dan perwakilan dari pihak Iran (Syiah) dan peserta local yang mayoritasnya hanya mahasiswa, plus tanya jawab dengan tujuh penanya, sudah bisa melahirkan rekomendasi yang sehebat di atas. Hal yang sangat perlu untuk dipertanyakan, karena rekomendasi itu (telah dibuat?) sebelum acara seminar dihelat.
Ketiga, poin ketiga dari rekomendasi itu yang berbunyi: “Bahwa merujuk pada Deklarasi Amman atau  The Amman Message (9-11-2004) yang dideklarasikan bersama oleh 200 ulama dari lebih 50 negara, yang dikukuhkan kembali oleh pernyataan bersama lebih dari 500 ulama dan cendekiawan Islam dari seluruh dunia pada tahun 2006, yang menyatakan bahwa Siapapun pengikut salah satu dari empat mazhab hukum Islam Suni (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali), dua mazhab hukum Islam Syiah (Ja’fari dan Zaidi), mazhab hukum Islam Ibadhi serta mazhab hukum Islam Zahiri adalah seorang Muslim. Maka hendaknya umat Islam dengan mazhab-mazhab yang disebutkan di atas semakin memperkokoh ukhuwah Islamiah untuk menunjukkan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin.” Jika dicermati secara mendalam, maka akan kita dapati lobang yang menganga lebar akan kesesatan Syiah, Risalah Amman hanya menyebut ‘Mazhab hukum Islam Syiah [Ja’fari dan Zaidi]” sementara yang melakukan seminar adalah para Syiah Imamiyah yang memiliki perbedaan dari segi akidah (pokok) dan juga fikih dengan Ahlussunnah wal Jamaah, karena itu Risalah Amman yang dijadikan Syiah sebagai tameng dan tempat berlindung secara gamblang menjadi bumerang bagi mereka sendiri.
Dengan alasan apapun, Risalah Amman tidak pernah memberi ruang kepada IJABI, dan Ahlul Bait Indonesia yang berpaham sebagai Syiah Imamiyah untuk berlindung padanya, karena aliran itu tidak tersebut di dalam Risalah Amman sebagai salah satu mazhab yang tidak boleh disesat dan dikafirkan.  Wallahu A’lam!
 Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar, Peneliti LPPI Indonesia Timur
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: